Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
MAYORITAS responden dalam kajian yang dilakukan Center of Reform on Economics (Core) Indonesia menunjukkan, pemanfaatan fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) didominasi untuk keperluan usaha. Namun mayoritas responden merasa terbebani dengan denda pinjaman.
Direktur Riset Bidang Jasa Keuangan, Ekonomi Digital dan Syariah Core Indonesia Etika Karyani menjelaskan, sebanyak 67% responden yang merupakan peminjam (borrower) menyatakan menggunakan pinjaman P2P untuk usaha, sementara 33% lainnya tidak. Survei ini merupakan bagian dari kajian CORE Indonesia bertajuk Dampak Sosial-Ekonomi dan Keberlanjutan Industri Fintech P2P Lending di Indonesia
"Kita tanyakan kepada para responden apakah mereka menggunakan pinjaman dari untuk usaha? Mayoritas 67% mengatakan iya," ujarnya dalam seminar diseminasi kajian Dampak Sosial-Ekonomi dan Keberlanjutan Industri Fintech P2P Lending di Indonesia secara daring, Jumat (13/6).
Jika dirinci berdasarkan tujuan utama penggunaan pinjaman, sebesar 55% responden menyebut untuk kegiatan usaha, 32% untuk kebutuhan primer, 7% untuk pendidikan, dan masing-masing 2% untuk kebutuhan kesehatan serta keperluan darurat.
Lebih lanjut, Etika menyampaikan dari hasil survei tersebut, lebih dari 51% responden mengalami peningkatan pendapatan setelah menggunakan layanan P2P lending, terutama mereka yang memanfaatkan dana pinjaman untuk kegiatan usaha produktif dan diversifikasi produk.
Terkait persepsi terhadap suku bunga, sebanyak 59 responden menyatakan bahwa tingkat bunga masih terjangkau, khususnya bagi mereka yang menggunakan pinjaman untuk keperluan usaha. Hal ini diduga karena pelaku usaha lebih memahami skema kredit yang ditawarkan oleh platform P2P.
"Sehingga, beban bunga dirasakan lebih wajar dibandingkan mereka yang menggunakan dana untuk konsumsi atau kebutuhan non-produktif," jelas Etika.
Namun demikian, ada tantangan lain yang dirasakan peminjam, terutama soal denda keterlambatan. Sebanyak 45% responden menyatakan denda yang dikenakan mahal, hingga sangat berat jika mereka terlambat membayar cicilan.
"Semakin seseorang terlambat membayar cicilan, maka semakin besar mereka merasa denda keterlambatan, sehingga beban semakin berat," kata Etika.
Menariknya, sebagian besar responden atau 59% ternyata masih memilih pinjaman informal sebagai sumber pembiayaan utama, dibandingkan lembaga keuangan formal seperti bank yang hanya dipilih oleh 29,6% responden. Ini menunjukkan bahwa akses ke lembaga keuangan formal masih rendah di kalangan masyarakat.
Sementara itu, bagi masyarakat yang belum pernah menggunakan layanan P2P lending, mereka tetap melihat keunggulan platform ini dari sisi kecepatan proses (45,3%) dan tidak adanya persyaratan jaminan (17,5%). Namun, ada pula kekhawatiran yang cukup tinggi, terutama soal keamanan data pribadi (45,3%), suku bunga yang dianggap tinggi (31%), dan risiko penipuan (15%).
Survei ini melibatkan 2.104 responden, terdiri dari 1.429 peminjam dan 675 non-peminjam. Seluruh responden berada dalam rentang usia produktif 18–65 tahun, tersebar di 34 provinsi, serta memiliki akses terhadap internet dan smartphone. Mayoritas non-peminjam merupakan lulusan minimal SMA dan sudah bekerja, sedangkan peminjam umumnya berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan. (H-3)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan, lonjakan kasus penipuan keuangan atau financial scam di Indonesia semakin mengkhawatirkan.
Edukasi, sosialisasi, serta penguatan regulasi oleh OJK dan Satgas Waspada Investasi (SWI) cukup efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya pinjol ilegal.
AFPI turut buka suara mengenai tuduhan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menilai pelaku usaha penyedia layanan pinjaman online melakukan pengaturan suku bunga layaknya kartel.
Industri pindar masih menghadapi tantangan serius akibat maraknya pindar ilegal, praktik joki, dan komunitas gagal bayar yang berpotensi mengganggu keberlanjutan ekosistem pindar.
Ini Rekomendasi Celios untuk Jaga Kondusivitas Pinjaman Daring.
OJK mengungkapkan pembiayaan pinjaman online (pinjol) mengalami peningkatan signifikan menjelang tahun ajaran baru atau pada Mei 2025.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan penetapan batas maksimum bunga di platform pinjaman online (pinjol) untuk melindungi masyarakat.
Kebijakan batas bunga ini juga telah diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak lama, sebagai bagian dari upaya perlindungan konsumen.
PENYELIDIKAN Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkap sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online (pinjol) diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved