Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Kebijakan Moneter BI Rusak Daya Beli Masyarakat

M Ilham Ramadhan Avisena
16/4/2025 12:30
Kebijakan Moneter BI Rusak Daya Beli Masyarakat
Ilustrasi(Antara)

Arah kebijakan moneter Bank Indonesia dinilai berkontribusi pada pelemahan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah ke bawah. Itu terjadi karena bank sentral memiliki kecenderungan untuk terus menyerap likuiditas dari perekonomian lewat operasi moneter (OM) yang bersifat absorptif.

"Operasi moneter Bank Indonesia selama lebih dua dekade terakhir lebih bersifat menyerap likuiditas perekonomian. Pola ini makin kentara dalam lima tahun terakhir dan melonjak tajam di 2024," ujar Ekonom Bright Institute Awalil Rizky melalui keterangannya, Rabu (16/4). 

Dia merujuk pada data posisi operasi moneter bersifat absorptif yang meningkat dari Rp297,49 triliun pada 2019 menjadi Rp945,56 triliun pada akhir 2024. Per Maret 2025, angka tersebut masih tinggi, mencapai Rp922,58 triliun. Instrumen seperti SRBI bahkan mencapai Rp891,13 triliun dan sebagian besar dana tersebut tidak mengalir ke sektor riil. Menurutnya, strategi itu memang berhasil menjaga inflasi tetap rendah dan stabil, tetapi berisiko menekan pertumbuhan ekonomi dan melemahkan konsumsi rumah tangga.

"Dari narasi kebijakan BI, alasan utama operasi moneter adalah menjaga inflasi. Tapi ini juga bisa dibaca sebagai kurangnya dorongan bagi penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi," jelas Awalil. 

Ia juga menilai kebijakan moneter Bank Indonesia menyebabkan bank enggan menyalurkan kredit ke sektor riil karena lebih menguntungkan menaruh dana dalam instrumen BI. "Kebijakan ini membuat bank menjadi ‘malas’ menyalurkan ke sektor riil. Alih-alih mendorong produksi dan konsumsi, dana hanya diputar di sektor keuangan," tambah Awalil. 

Yang lebih ironis, lanjutnya, kebijakan itu justru memperdalam kesenjangan. "Daya beli masyarakat kelas bawah dan menengah makin melemah, sementara kelas atas justru diuntungkan karena punya akses ke instrumen keuangan berimbal hasil tinggi," tutur Awalil. 

Ia juga menyoroti kontradiksi bahwa Bank Indonesia kini justru memegang 24,62% Surat Berharga Negara (SBN) atau senilai Rp1.547,41 triliun, menunjukkan bahwa uang lebih difokuskan ke utang pemerintah ketimbang mendorong pembiayaan sektor riil lewat perbankan.

"Secara teknis, BI bahkan harus menanggung tambahan biaya operasi moneter. Hasil dari SBN lebih rendah dari bunga SRBI yang harus dibayar," kata Awalil. 

Dia juga menekankan bahwa kebijakan yang terlalu fokus pada stabilitas bisa menjadi bumerang di tengah pelemahan ekonomi. "Dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi dan ekonomi yang melemah, seharusnya kebijakan BI dan pemerintah bersifat countercyclical. Tapi ruang untuk itu makin sempit," pungkasnya. (E-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Andhika
Berita Lainnya