Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
INDONESIA dinilai memiliki peluang untuk bergabung dengan Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) serta organisasi antarpemerintah, BRICS. Keduanya dianggap penting dan Indonesia mestinya bisa memainkan peran krusial dengan tetap menjaga prinsip nonblok.
"The best scenario adalah bergabung dengan keduanya seperti yang coba dilakukan Thailand dan Turki (Turki adalah anggota OECD tetapi mendaftar menjadi anggota BRICS), karena memang tidak ada ketentuan formal yang tidak memungkinan hal ini terjadi," kata ekonom Universitas Paramadina Samirin Wijayanto melalui keterangannya, dikutip pada Minggu (27/10).
Namun, jika Indonesia memang berada dalam posisi memilih salah satu di antaranya, lanjut Samirin, semestinya pilihan dijatuhkan kepada kelompok yang lebih menghargai posisi Indonesia. Hal itu menurutnya dapat dilihat dari kecepatan eksekusi keanggotaan Indonesia.
"Jika memilih OECD, tentunya Indonesia perlu afirmasi bahwa berbagai perjanjian dagang yang masih menggantung, akan segera dituntaskan," terang Wijayanto.
Dalam skenario terburuk, Indonesia akan terus digantung, baik oleh OECD maupun BRICS. Itu bisa jadi disebabkan karena Indonesia selalu dirundung keraguan dalam mengambil sikap.
Wijayanto menganalogikan, ada dua mobil yang memiliki kualitas berbeda namun perbedaan itu masih dapat ditoleransi. Otomatis, orang akan memilih mobil yang persyaratan belinya tak bertele-tele.
Lebih lanjut, dia juga mengapresiasi langkah yang diambil oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Itu menurutnya merupakan langkah tegas dan berani.
"Ini mengdongkrak profile internasional kita, serta meningkatkan posisi tawar kita dihadapan kelompok OECD maupun BRICS," kata Wijayanto.
Adapun dia menilai, jika Indonesia nantinya menjadi anggota BRICS, itu tak serta merta diartikan Indonesia harus menjaga jarak dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat.
India, UEA, Brasil, dan Arab Saudi, misalnya, anggota BRICS yang juga merupakan teman dekat Amerika Serikat. Sebaliknya, menjadi anggota OECD tidak berarti menjaga jarak dengan negara-negara BRICS terutama Tiongkok dan Rusia.
OECD dan BRICS, kata Wijayanto, bukanlah blok yang rigid. Setiap anggota tetap bebas melakukan kerja sama. Dalam konteks ini, pertimbangan Indonesia mestinya lebih pragmatis bukan politis, mana yang lebih memberikan keuntungan bagi Indonesia itulah yang akan dipilih.
OECD dipandang akan mempertahankan status quo, yakni beberapa negara Barat mendominasi ekonomi dunia termasuk terkait dengan sistem perdagangan dunia dan sistem moneter, salah satunya ialah dolar AS menjadi reserve currency dunia dan WTO menjadi wadah.
Sementara BRICS ingin melakukan terobosan dari yang paling ekstrem, yaitu dedolarisasi dengan membentuk mata uang alternatif pengganti dolar AS seperti yang dipelopori oleh Rusia dan Tiongkok.
"Kalau pun akhirnya memutuskan bergabung dengan BRICS, idealnya Indonesia menjadi bagian yang moderat, mendorong kerja sama dagang serta mewujudkan sistem pembayaran baru yang tidak terlalu tergantung pada dolar AS," jelas Wijayanto.
Sebelumnya, di kesempatan berbeda Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kemenko Perekonomian Edi Prio Pambudi mengatakan, Indonesia merupakan negara bebas aktif dalam forum internasional. Itu berarti, Indonesia dapat berdiri di banyak pihak selama itu menguntungkan dan bermanfaat bagi negara.
"Jadi tujuan utamanya sebenarnya lebih kepada efficient economy. Bukan masalah kita sensitif dengan sebuah mata uang, enggak. Karena bagaimanapun kalau kita masuk ke dalam situ (sensitif terhadap mata uang), nanti kita justru kehilangan sebenarnya perspektifnya akan ke mana," tuturnya kepada awak media di kantornya, Jakarta, Jumat (25/10).
Salah satu langkah yang dinilai dapat mendorong ekonomi efisien ialah melalui transaksi mata uang lokal (local currency transaction/LCT) dengan sejumlah negara. "Kita ingin proses perdagangan, misalnya biaya logistik kita murah, proses transportasi kita juga bisa terjangkau, supaya semuanya menjadi lebih mudah," terangnya.
"Jadi kita tidak ingin terbawa di dalam sebuah, manifesto yang mengarah kepada hal-hal yang membuat Indonesia nanti tidak seimbang," lanjut Edi.
Diketahui sebelumnya, Menteri Luar Negeri Sugiono mengungkapkan alasan Indonesia berkeinginan bergabung dengan BRICS. Hal itu ia sampaikan dalam pertemyan KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia, Kamis (24/10).
Sugiono menjelaskan politik luar negeri Indonesia berdasar nilai bebas aktif. Sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto, kata dia, Indonesia ingin berteman baik dengan semua negara di dunia. (J-3)
Rusia mengatakan Indonesia akan resmi menjadi salah satu dari 9 negara mitra organisasi BRICS mulai 1 Januari 2025.
Dokumen IM diserahkan langsung kepada Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann pada Selasa, 3 Juni 2025 di sela-sela rangkaian Pertemuan Tingkat Menteri OECD 2025 di Paris, Prancis.
Indonesia kini menjadi pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan nilai US$90 miliar yang diperkirakan akan tumbuh menjadi US$360 miliar pada 2030.
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,7% pada 2025, dan naik tipis menjadi 4,8% pada 2026.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bakal menyampaikan perkembangan aksesi Indonesia bergabung OECD kepada Presiden Prabowo Subianto dalam waktu dekat.
Indonesia menargetkan penyerahan initial memorandum tersebut ke OECD pada triwulan I 2025.
Istana mengatakan bergabungnya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS tidak akan memberi dampak terhadap hubungan dengan Amerika Serikat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved