Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
Pelaku bisnis mendesak pemerintah menetapkan target yang ambisius, spesifik, dan dapat dijalankan dalam dokumen rencana energi, sehingga menciptakan kepastian pasar untuk membuka investasi. Indonesia membutuhkan bantuan pendanaan internasional untuk mencapai target energi surya dan angin 14% pada 2030, sesuai kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan mencapai 60% pada 2050 agar bisa membatasi kenaikan suhu 1,5°C. Penetapan target yang ambisius dan jelas diperlukan untuk menarik modal luar negeri.
Laporan terbaru Climate Analytics dan NewClimate Institute 'Setting 1,5°C compatible wind and solar targets: Guidance for key countries' mengungkapkan kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan tumbuh empat kali lipat pada 2050 dari posisi 2022, didorong oleh pertumbuhan ekonomi dan peningkatan rasio elektrifikasi. Untuk memenuhi pertumbuhan kebutuhan tersebut, Indonesia perlu meningkatkan kapasitas listrik surya dan anginnya dari saat ini 0,2% menjadi 60% pada 2050.
Dalam kesepakatan JETP, listrik energi surya ditargetkan 29 gigawatt (GW) dan angin 9 GW pada 2030. Namun, target ini kurang ambisius. Indonesia seharusnya mengejar kapasitas listrik energi surya hingga 77 GW dan angin 29 GW pada 2030, dan 590 GW dan 150 GW berturut-turut pada 2050. Indonesia juga perlu mengakhiri penggunaan energi fosil di sektor kelistrikan pada 2045 dari porsi saat ini 80%.
Baca juga : Apple akan Jadikan Seluruh Produk Netral Karbon pada 2030
“Indonesia baru mulai mendorong energi surya dan angin. Untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, perlu target yang ambisius dan jelas, dikombinasikan dengan peningkatan pendanaan iklim internasional secara signifikan. Menutup PLTU batu bara yang sudah tua dan beralih ke energi terbarukan tidak hanya efisien dari aspek biaya, tetapi juga berdampak positif dari aspek kesehatan dan lingkungan,” kata Neil Grant, penulis laporan dari Climate Analytics dalam keterangannya, Selasa (24/9).
Mengacu laporan itu, dukungan internasional jadi penentu keberhasilan negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mendongkrak listrik surya dan angin. Pendanaan berbasis hibah dan peningkatan kapasitas, termasuk untuk mengembangkan dan mendukung kerangka kerja kelembagaan, dibutuhkan untuk memitigasi dampak transisi ke energi terbarukan. Pasalnya, investasi energi surya dan angin saat ini baru terpusat mayoritas di negara maju dan China.
Di sisi lain, pemerintah negara berkembang, termasuk Indonesia, berperan menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk energi terbarukan. Salah satunya, pemerintah perlu mengirimkan sinyal transisi energi yang jelas, seperti menetapkan target energi terbarukan yang ambisius dalam Dokumen Iklim (Nationally Determined Contribution/NDC) terbaru, serta merinci jenis teknologi dan periode waktu perencanaan untuk mencapai target.
Baca juga : ABB Komitmen Dukung Transisi Energi di Indonesia
Pemerintah juga perlu memperbaiki kerangka kebijakan dan tata kelola sektor energi agar selaras dengan transisi dari energi fosil ke terbarukan. Pemerintah perlu menolak kepentingan industri energi fosil yang memperlambat transisi ke energi surya dan angin, serta mengatasi kebutuhan transisi berkeadilan.
“Industri siap mempercepat peningkatan kapasitas energi surya dan angin yang diperlukan untuk memenuhi target iklim. Pelaku bisnis mendesak pemerintah dunia untuk menetapkan target yang ambisius, spesifik, dan dapat dijalankan dalam NDC dan rencana energi mereka. Hal ini akan menciptakan kepastian pasar untuk membuka investasi dan memastikan bergulirnya proyek energi terbarukan,” kata Louise Burrows, Head of Government Affairs Global Renewables Alliance.
Secara global, energi surya dan angin menjadi andalan untuk mencapai target iklim. Untuk itu, 11 negara yang berkontribusi atas 70% listrik energi surya dan angin global, termasuk Indonesia, harus meningkatkan kapasitas listrik energi jenis ini hingga lima kali lipat pada 2030 dan delapan kali lipat pada 2050. (Z-11)
Dilakukan penambahan dua titik operasional baru, tepatnya di Integrated Terminal Panjang, Provinsi Lampung dan Fuel Terminal Tanjung Pandan, Kepulauan Bangka Belitung.
PT Perusahaan Gas Negara (PGN) menyelenggarakan program Pelatihan Teknisi Konversi dan Pemeliharaan Kendaraan Bahan Bakar Gas (BBG).
PT Mitra Murni Perkasa (MMP), anak usaha MMS Solution dan bagian dari MMS Group Indonesia (MMSGI), resmi memasuki tahap Power On untuk smelter nikel matte high grade.
Pertamina New & Renewable Energy (Pertamina NRE), sebagai subholding dari PT Pertamina menyatakan keinginan untuk mengembangkan PLTN di Indonesia.
PRESIDEN Prabowo Subianto memproyeksikan Indonesia bakal swasembada energi dalam waktu lima tahun mendatang.
Ketahanan energi merupakan salah satu prioritas utama dalam visi pembangunan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ke depan.
Bank Mandiri dan Ceria Corp memperkuat sinergi hilirisasi lewat ekspor perdana Low-Carbon Ferronickel (FeNi) dari smelter Merah Putih di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Pemerintah Inggris menargetkan pendanaan sekitar US$1 juta guna memperluas dukungan investasi di sektor energi terbarukan Indonesia.
Kerja sama antara KIE dan KMI merupakan upaya bersama untuk mendorong pengelolaan karbon yang berkelanjutan, sekaligus memperkuat kontribusi industri terhadap transisi energi rendah emisi.
Sebagai negara dengan posisi yang strategis di kawasan, Indonesia juga mendorong pendekatan kolaboratif dalam transisi energi.
Namun, negara lain seperti Tiongkok, India dan Australia telah membuktikan intermitensi surya dapat diatasi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved