Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Penurunan Suku Bunga Acuan Dorong Perekonomian RI Tetap Solid

Insi Nantika Jelita
19/9/2024 17:16
Penurunan Suku Bunga Acuan Dorong Perekonomian RI Tetap Solid
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI)(ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

KEPALA Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan momentum penurunan suku bunga acuan atau Bank Indonesia (BI) Rate diperkirakan mendukung pertumbuhan ekonomi agar tetap solid. BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6,00% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) September 2024.

Josua menuturkan dengan pelonggaran kebijakan moneter BI tersebut diperkirakan akan direspons dengan penurunan suku bunga pasar uang antar bank (PUAB) yang selanjutnya akan berpengaruh pada penurunan suku bunga perbankan, termasuk suku bunga kredit.

"Penurunan suku bunga perbankan diperkirakan akan mendorong solidnya perekonomian melalui permintaan kredit yang akan meningkat," ujar Josua kepada Media Indonesia, Kamis (19/9).
Dia mengungkapkan pada umumnya penurunan suku bunga deposito akan terjadi sekitar 1 bulan pasca pengumuman pemangkasan BI Rate, sementara transmisi pada suku bunga kredit akan terealisasi sekitar 3-6 bulan ke depan tergantung dari kondisi likuiditas dan risiko kredit perbankan.

Baca juga : Diperkirakan Bergerak Variatif, IHSG Dibuka Nyaris 7.500

Menurut Josua, kombinasi pelonggaran kebijakan moneter dengan kebijakan makroprudensial yang akomodatif berpotensi mendorong suplai kredit perbankan, sehingga mendukung fungsi intermediasi perbankan pada perekonomian riil.

Kendati demikian, Josua berpendapat penurunan suku bunga bukanlah solusi untuk semua permasalahan ekonomi termasuk penurunan daya beli kelas menengah. Tren penurunan daya beli dikatakan terjadi karena kondisi struktural perekonomian, mulai dari melambatnya industri padat karya termasuk industri manufaktur, peningkatan tenaga kerja di sektor informal dan stagnasi pendapatan riil masyarakat.

"Justru, kebijakan fiskal yang memiliki peran besar dalam mengatasi penurunan daya beli masyarakat," tegasnya.

Baca juga : Gapmmi Harap Suku Bunga di Kuartal IV tidak Naik

Kebijakan itu antara lain harus mendorong penyerapan tenaga kerja, reformasi struktural dalam perekonomian, reindustrialisasi yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan riil masyarakat. Ini pada akhirnya berdampak positif pada peningkatan daya beli masyarakat.

Dihubungi terpisah, ekonom Universitas Paramadina Jakarta Wijayanto Samirin menyambut baik keputusan Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) yang memangkas suku bunga acuan atau fed funds rate/FFR sebesar 50 basis points (bps) menjadi 4,75-5,0% pada Rabu, (19/9) waktu AS.

"Tentunya ini merupakan berita bagus bagi dunia, tidak terkecuali Indonesia," sebutnya.

Baca juga : Suku Bunga Acuan kembali Ditahan, Daya Beli Terjaga

Penurunan BI Rate sebesar 25 bps dianggap sudah tepat, dan merefleksikan kehati-hatian BI dengan tetap menjaga gap antara FFR dan BI Rate di level yang aman yakni 1,0%. Senada dengan Josua, Wijayanto menyebut penurunan BI Rate akan menurunkan suku bunga perbankan, yang membuat sektor rill lebih menggeliat. Namuh seberapa besar dampaknya sedikit banyak tergantung kepada agresivitas BI dan pemerintah dalam menerbitkan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Surat Berharga Negara (SBN).

Sementara, Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam menyebut penurunan suku bunga acuan belum cukup mendorong geliat ekonomi nasional. Adanya tren penurunan daya beli dan lemahnya pasar ekspor masih tengah membayangi ekonomi Indonesia ke depan.

"Kalau mau industri manufaktur kita kuat harus didorong permintaanya, tapi kan permintaan lagi melempem. Pangsa ekspor kita lagi melemah," ungkapnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan surplus neraca perdagangan Indonesia pada Agustus 2024 sebesar US$2,90 miliar. Akan tetapi, surplus neraca perdagangan tersebut dibarengi dengan Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur yang mengalami kontraksi pada periode yang sama. Lembaga pemeringkat S&P Global baru saja merilis aktivitas manufaktur Indonesia yang mengalami kontraksi ke 48,9 pada Agustus 2024. Sebelumnya, PMI Manufaktur Indonesia sudah mengalami kontraksi pada Juli 2024 di angka 49,3. (Ins/M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya