Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
FUNDAMEN perekonomian Indonesia masih cukup kuat dan berdaya tahan meski berada di tengah tekanan global. Sejumlah indikator ekonomi dalam negeri menunjukkan soliditas yang dapat meredam gejolak eksternal.
Demikian dikatakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat menyampaikan perkembangan indikator perekonomian Tanah Air di kantornya, Jakarta, Senin (22/4). "Secara fundamental perekonomian Indonesia relatif lebih bagus," ujarnya.
Baca juga : Pemerintah Terus Berkoordinasi dengan BI Jaga Stabilitas Ekonomi
Indikator pertama nilai tukar rupiah yang relatif lebih baik di hadapan keperkasaan dolar Amerika Serikat. Dalam hitungan tahun berjalan (year to date/ytd) nilai tukar rupiah terdepresiasi 5,16% ke level Rp16.235 per dolar AS.
Namun depresiasi itu relatif dangkal dibanding pelemahan nilai tukar mata uang negara-negara yang setara dengan Indonesia. Taiwan, misalnya, New Taiwan Dolar mengalami depresiasi hingga 5,95% (ytd).
Lalu mata uang Won Korea Selatan mengalami depresiasi hingga 6,62% (ytd), Bhat Thailand mengalami depresiasi hingga 7,78% (ytd), dan Yen Jepang mengalami depresiasi 8,83% (ytd).
Baca juga : Bank Indonesia Lakukan Langkah Antisipaitf Jaga Nilai Rupiah Terhadap Dolar
Pelemahan nilai tukar yang dialami Indonesia dan banyak negara lainnya, kata Airlangga, terjadi lantaran indeks dolar AS (DXY) mengalami kenaikan 4,72% dari 101 ke level 106.
Kondisi yang relatif stabil dalam perekonomian Indonesia juga terlihat dari sisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Meski mengalami tekanan hingga turun ke level 7.072, kondisi itu masih jauh lebih baik ketimbang Hong Kong yang bursanya minus 3,14 dan bursa di Thailand yang minus 4,28.
Hal lain yang mengonfirmasi ketahanan ekonomi dalam negeri juga tercermin dari realisasi kinerja perdagangan Indonesia. Airlangga mengatakan, neraca dagang Indonesia masih mencatatkan surplus pada Maret 2024 sebesar US$4,47 miliar, memperpanjang capaian surplus dagang hingga 47 bulan beruntun.
Baca juga : Menko Airlangga: Kita Perlu Meredam Kebutuhan terhadap Dolar AS
Kinerja dagang yang terbilang apik, kata Airlangga, turut didorong oleh kenaikan harga nikel di pasar internasional. Demikian halnya dengan harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang tengah mengalami tren peningkatan harga.
Stabilitas juga disebut terjaga dari sisi ekonomi makro. Tingkat inflasi umum pada Maret 2024 berada di angka 3,05% secara tahunan (year on year/yoy), masih berada dalam kisaran sasaran target pemerintah, yakni 2,5% plus minus 1%.
Sejumlah lembaga pemeringkat kredit juga mempertahankan peringkat Indonesia dengan outlook yang relatif sama, yakni baik. "Kita tahu, rating Moody's, Fitch, JCR relatif baik dan kepercayaan konsumen relatif tinggi, dengan penjualan eceran tumbuh 3,5% (yoy), naik selama Ramadan dan Idul Fitri," jelas Airlangga.
Baca juga : Menko Airlangga Sebut Penurunan Nilai Tukar Rupiah tidak Sedalam Negara Lain
Selain itu, optimisme pelaku usaha industri pengolahan terjaga dengan cukup baik. Hal itu digambarkan dengan Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia yang masih berada di zona ekspansif, di angka 54,2, lebih tinggi dari posisi PMI manufaktur ASEAN yang tercatat 51,5.
Kondisi perbankan di Tanah Air juga terbilang solid. Rasio alat likuid atau non core deposit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) masing-masing bertengger di atas 50% dan 10%. Capital Adequacy Ratio (CAR) juga berada di posisi yang cukup baik, yakni 27,72%.
Pemerintah, kata Airlangga, juga akaan terus mendorong Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk masuk ke dalam sistem keuangan di Indonesia. "Sehingga tentu kalau tidak ada kebutuhan dolar tidak diberikan, artinya kalau kebutuhan dolarnya masih jauh, ya tidak perlu sekarang mencari dolar," kata dia.
Guna menangkal pelemahan nilai tukar rupiah, lanjutnya, Indonesia juga akan terus memperluas inisiasi Local Currency Settlement (LCS) dengan negara-negara lainnya. Saat ini penggunaan mata uang lokal baru terjalin dengan Thailand, Malaysia, Singapura, Jepang, dan Tiongkok.
Perluasan LCS dalam waktu dekat akan dilakukan dengan India, Arab Saudi, dan ASEAN. Penguatan LCS menjadi hal krusial untuk menekan hegemoni dolar AS. Ekonom senior sekaligus Ketua Tim Asistensi Menko Perekonomian Raden Pardede mengatakan pemerintah terus mendukung upaya BI memperluas LCS.
Penguatan LCS, menurut Raden, merupakan langkah mitigasi yang dapat ditempuh untuk menghadapi penguatan dolar AS yang berlebih. "Jadi pengaruh dari fluktuasi USD itu dimitigasi nantinya. Kalau ini (LCS) berlangsung masif, maka dominasi dolar AS itu akan berkurang," kata dia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved