Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Mahalnya Biaya Distribusi dan Regasifikasi terkait BUMN Disoroti

Media Indonesia
16/10/2023 09:50
Mahalnya Biaya Distribusi dan Regasifikasi terkait BUMN Disoroti
Petugas mengawasi pemasangan tiang pancang saat dimulainya pengerjaan relokasi PLTG dari Grati ke Pesanggaran.(Antara/Nyoman Hendra Wibowo.)

MAHALNYA biaya distribusi dan regasifikasi yang melibatkan BUMN disoroti. Pasalnya, total biaya-biaya yang muncul mencapai US$10 MBTU lebih. 

"Biaya tersebut terlalu mahal, karena begitu banyak komponen yang dimasukkan. Harusnya kalau sesama BUMN bersinergi," jelas pengamat kebijakan publik Ucok Sky Khadafi. Biaya distribusi dan regasifikasi gas untuk pembangkit listrik di Indonesia memang tergolong mahal. Tengok saja di Tanjung Benoa yang menyuplai PLTG Pesanggaran dan PLTG Belawan, Sumatra Utara.

Menurut Ucok, sejumlah komponen biaya dibebankan sehingga harga gas menjadi begitu mahal sampai ke pengguna seperti biaya angkut LNG dengan kapal, regasifikasi, sewa lahan, dan jasa serta pajak. Untuk total biaya pengapalan LNG dari Bontang dan biaya regasifikasi di Terminal Penerima dan Regsifikasi LNG Tanjung Benoa saja mencapai US$4/MMBTU.

Baca juga: Tingkatkan Kompetensi SDM Tenaga Kerja, Kemnaker Gelar Rembuk Nasional LPKS

Mahalnya harga gas yang ditetapkan Pelindo 3 di Tanjung Benoa tersebut disinyalir berdampak pada beban PLN. Akibatnya, IP (Indonesia Power) yang mengelola PLTG Pesanggaran tidak bisa beroperasi dengan efisien, biaya produksi listrik menjadi mahal, tarif untuk masyarakat pun menjadi susah diturunkan. "Kondisi ini diperparah pemain di sektor bisnis ini cenderung dikuasai pihak tertentu, sehingga tidak ada iklim kompetisi yang sehat," ujarnya. 

Ucok mensinyalir tidak ada kompetisi menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga gas untuk pembangkit listrik menjadi sangat mahal. Bisnis distribusi dan terminal dikuasai oleh BUMN Pelindo, swasta tidak banyak yang terlibat. "Akan berbeda jika pemain di sektor distribusi ini banyak, harga gas pun bisa dibuat lebih kompetitif," ujarnya.  

Baca juga: Harga Saham GOTO Terus Melorot

Dengan begitu, pemain besar seperti Pelindo tidak bisa seenaknya menetapkan biaya-biaya. Sektor swasta harus juga dilibatkan tidak hanya BUMN. Namun memang tidak mudah, karena BUMN seperti Pelindo berusaha mempertahankan penguasaan terhadap bisnis distribusi dan regasifikasi LNG. 

Padahal sebenarnya Perumda Bali melalui PT Dewata Energi Bersih (DEB) siap menjadi penyedia terminal khusus LNG di Bali dengan memberikan fasilitas harga yang lebih murah ketimbang Pelindo. Namun hingga saat ini masih terkendala perizinan. Akhirnya PLN tidak memiliki pilihan terkecuali dengan Pelindo. "Praktik bisnis seperti ini sangat disayangkan. PLN berhak mencari pembanding harga yang lebih murah, sehingga bisnis bisa lebih sustainable, tidak terbebani dengan harga yang mahal," jelas Ucok. 

Ditambahkan pengamat energi dari Universitas Gajah Mada  Fahmi Radhi bahwa harga yang dipatok Pelindo III bisa mencapai lebih US$10 per MMBTU (Millions British Thermal Units), jauh di atas tarif harga negara-negara lain semisal Malaysia yang hanya USD$ per MMBTU. Menurut dia, tarif yang ditetapkan Pelindo III untuk distribusi gas cair ini terlalu banyak memasukkan komponen-komponen yang tidak relevan.

"Misalnya, biaya sewa tanah dan pajak dimasukkan juga. Ini enggak relevan. Harganya bisa di atas US$10 per MMBtu. Padahal di luar, misalnya di Malaysia itu hanya US$6 dolar per MMBTU. Ini cukup jauh," ujar Fahmi. (Z-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya