Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakl menormalisasi kebijakan transaksi di perdagangan saham Bursa Efek Indonesia mulai April 2023.
Hal ini terkait masa berlaku POJK Nomor 7/POJK.04/2021 tentang Kebijakan Dalam Menjaga Kinerja dan Stabilitas Pasar Modal Akibat Penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagaimana telah diubah dengan POJK Nomor 4/POJK.04/2022, atau POJK Kebijakan COVID-19, yang penerapannya hanya sampai 31 Maret 2023.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Inarno Djajadi dalam suratnya mengatakan Ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi pandemi yang semakin membaik, serta telah dicabutnya kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) oleh Pemerintah.
Sejumlah ketentuan relaksasi yang selama 3 tahun pandemi berlaku akan secara bertahap ditarik, termasuk aturan auto rejection bawah (ARB) asymmetric.
Pada saat pandemi, berlaku batas bawah koreksi harga saham sebesar 7% pada Auto Rejection Bawah (ARB), dan Auto RejectionAtas (ARA) saham Rp 50-Rp 200 mencapai 35%, saham Rp 200-5.000 25%, dan saham di atas Rp 5.000 20%.
Dengan menjadi simetris, nantinya akan berlaku persentase yang sama untuk ARB dan ARA pada masing-masing rentang harga saham, yaitu untuk saham Rp 50-Rp 200 mencapai 35%, lalu untuk saham Rp 200-5.000 sebesar 25%, dan saham di atas Rp 5.000 mencapai 20%.
Namun untuk tahap awal, Direktur Perizinan Pasar Modal OJK Lutfhy Zain Fuady mengatakan bahwa aturan ARB dan ARA belum mengacu pada aturan yang berlaku sebelum pandemi. Penerapannya akan bertahap sesuai dengan kondisi yang ada.
"Pemberlakukan bertahap. Disesuaikan dengan kondisi yang ada," kata Lutfhy di Balikpapan, Jumat (3/3)
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy mengatakan perubahan secara teknis terkait kembalinya jam perdagangan normal dan autorejection simetris bertahap masih dalam pembahasan internal BEI.
“Teknisnya dibahas internal, nanti akan kami umumkan,” kata Irvan.
Founder dari layanan edukasi online untuk investasi saham Emtrade, Ellen May, mengatakan Ketika nanti ARA dan ARB sudah menjadi simetris persentasenya untuk masing-masing harga, investor diminta untuk menghindari saham-saham gorengan dengan likuiditas, <i>bid offer<p>, dan volume yang kecil. Selain itu dia menyarankan agar investor waspada pada saham-saham yang volatilitas ARAnya terlalu mudah.
“Ketika saham-saham tersebut mudah untuk ARA maka akan mudah untuk kena ARB juga. Maka kurangi <i>trading<p> saham yang mudah menyentuh ARA (kenaikan 20%-35%)” kata Ellen May dalam sesi siaran langsung edukasi online di sosial media, Jumat malam, (4/4).
Semakin kecil kapitalisasi sebuah saham, semakin mudah harga saham tersebut digoreng, ditarik ke atas dan dibanting. Kapitalisasi merupakan jumlah saham beredar dikali dengan harga sahamnya.
“Jadi cara untuk melindungi diri kita, pilih saham yang likuiditasnya besar, dan kapitalisasi pasarnya juga besar,” kata Ellen.
Besar kecilnya bid offe juga tergantung dana yang dimiliki investor. Nominal dana yang digunakan untuk jual beli saham juga perlu diatur.
“Saya mengatur belanjaan portofolio tahun lalu, 50 % kepada saham perbankan dan PT Astra International Tbk (ASII). Selebihnya saham-saham investing valuasi murah dan saham <i>trading<p> yang dikombinasi untuk jangka menengah dan swing trading (jangka pendek),” kata Ellen.
Dengan ARB dan ARA menjadi simetris, disarankan porsi trading dikecilkan bila investor, terutama ritel tidak siap <i>cutloss<p> (jual rugi). Bagi investor yang sudah terjebak menyangkut uangnya di saham gorengan, disarankan segera menjual ketika terjadi kenaikan harga, sebab penurunan harga selepas tidak ada lagi batas 7%, maka koreksi saham akan bisa sangat dalam.
Secara teknikal saham-saham yang patut diwaspadai dapat dilihat dari saham yang candle-nya memanjang baik atas dan bawah, karena penguatannya sering semu.
Pengamat pasar modal direktur PT Avere Mitra Investama Teguh Hidayat pada akhir tahun 2022 sempat mengulas pada situs teguhhidayat.com, bahwa jika investor yakin akan kinerja saham yang mereka pilih memang baik manajemennya, menghasilkan laba, rutin bayar dividen, maka dalam kondisi pasar yang tidak sedang bergejolak tidak perlu khawatir.
Dalam kondisi seperti sekarang dimana pandemi sudah terkendali, PSBB/PPKM tidak lagi berlaku, kegiatan ekonomi berjalan normal, kinerja emiten sudah bagus lagi, dan IHSG sudah mendekati 7,000, alias sudah jauh di atas level 3,938 yang pernah dicapai pada market crash 2020, maka jelas bahwa batas ARB 7% sudah tidak lagi diperlukan.
Di sisi lain ketika batas ARB 7% masih berlaku sampai sekarang, yakni ketika kondisi pasar sudah aman-aman, maka muncul efek samping, yakni meningkatnya aktivitas spekulasi pada saham-saham berfundamental buruk, atau istilahnya saham gorengan, karena adanya ilusi psikologis bahwa maksimal ruginya hanya 7%.
Alhasil ada banyak investor, atau lebih tepatnya trader spekulan, yang sekarang berani membeli saham-saham yang berisiko sangat tinggi dan tidak layak investasi, hanya karena berharap harganya besok bakal ARA 20 – 35%, dan mengetahui risiko ARB terbatas maksimal 7%.
“Padahal sebenarnya, jika trader tadi tidak segera jual sahamnya, maka ruginya akan bertambah menjadi lebih dari 7% ketika besok-besoknya saham tersebut ARB lagi. Jadi ini yang saya sebut sebagai ‘ilusi’. Faktanya ketika saham GOTO ARB berjilid-jilid beberapa waktu lalu, maka kerugian investor sama sekali bukan hanya 7%, melainkan jauh lebih besar. Sebab secara total harga GOTO turun sampai level 80-an, dari puncaknya di leve 400-an,” kata Teguh.
Lebih Sehat
Dia berpendapat memang sebaiknya batas ARB kembali ke 20 – 35%, agar para pelaku pasar kembali menjadi investor dengan membeli saham-saham dari perusahaan benar menghasilkan laba dan membayar dividen, dan bukan lagi menjadi spekulan dengan membeli saham-saham yang digiring opininya akan melesat.
“Jika Anda cukup yakin bahwa saham Anda itu benar bagus, tidak bermasalah, maka tidak usah khawatir karena dia tidak akan crash ARB 20 - 35%. Dalam jangka panjang, hal ini akan membuat pasar modal Indonesia lebih sehat. Investor akan kembali profit dari saham-saham berfundamental bagus yang memang sudah selayaknya naik tinggi,” kata Teguh.
Hanya memang dalam jangka pendek, mungkin akan timbul gejolak baru karena para investor angkatan corona, sebelumnya belum pernah mengalami melihat sebuah saham turun sampai 35% hanya dalam sehari, sehingga mereka bisa jadi akan panik dan bisa membuat IHSG bergejolak.
Namun gejolak itu tidak akan berlangsung selamanya, hanya bagian dari suatu kondisi yang terjadi akibat adanya penyesuain. Sehingga ke depan pasar modal Indonesia akan bergerak sesuai dengan kinerja dan bukan hanya berdasarkan sentimen atau rumor. (E-1)