Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Nasib Nelayan di Tengah Kebijakan KKP

Abdillah M Marzuqi
31/7/2022 22:39
Nasib Nelayan di Tengah Kebijakan KKP
Ilustrasi(Antara)

SEKJEN Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Maritim (Forkami) Marcellus Hakeng Jayawibawa mengungkapkan ada beberapa persoalan yang dihadapi nelayan di Indonesia. Salah satu hal yang sering dikeluhkan para nelayan adalah persoalan ketersediaan bahan bakar solar subsidi.

"Karena patut diduga masih ada pemanfaatan solar oleh pihak yang seharusnya tidak berhak," ujar Hakeng.

Wasekjen Bidang Maritim Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) itu menyoroti ketersediaan solar subsidi dan perbedaan harga solar subsidi dengan non-subsidi.

"Di samping ketersediaan solar subsidi, disparitas harga solar subsidi dan non-subsidi pun ikut mempengaruhi nelayan untuk pergi melaut mencari ikan. Lonjakan harga dari Rp8.000 menjadi Rp18.000 ikut mempengaruhi perhitungan biaya melaut para nelayan," sambungnya. 

Hakeng juga menilai adanya masalah yang muncul dari penerapan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 85 Tahun 2021. Peraturan tersebut dianggap memberatkan nelayan karena kenaikan besaran tarif PNBP nelayan menjadi sekitar 5-10%. 

Padahal aturan sebelumnya yakni PP Nomor 62 Tahun 2002 mengatur kategori kapal kurang dari 60 GT hanya dikenakan tarif 1%. PP Nomor 75 Tahun 2015 naik menjadi 5 persen dengan kategori kapal kecil 30-60 GT. Pada aturan terbaru, PP Nomor 85 Tahun 2021, ketentuan ini justru diperluas menjadi kapal dengan ukuran 5-60 GT dikenakan tarif 5% untuk PNBP.

"Akibat dari peraturan itu, patut saya duga telah menyebabkan nelayan enggan melaporkan hasil tangkapan karena merasa terbebani. Situasi itu tentu berdampak pada  ketidakakuratan pengumpulan data produksi penangkapan ikan yang tercatat oleh pemerintah," sambung Hakeng.

Selain itu, Hakeng juga menyoroti rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang ingin memberlakukan sistem kontrak dengan memprioritaskan kuota bagi nelayan kecil. Penangkapan ikan terukur dengan sistem kontrak kuota hanya bisa dirasakan manfaatnya oleh perusahaan kapal besar di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Artinya nelayan kecil justru akan bersaing dengan perusahaan kapal besar dalam hal penangkapan ikan jika diterapkan.

"Perlu diingatkan untuk rencana kuota ini dikhawatirkan tidak dapat berjalan untuk nelayan kecil.  Karena sistem kelembagaan nelayan kecil atau tradisional belumlah memiliki modal yang kuat serta tidak memiliki ketersediaan kapal-kapal yang sesuai dengan kontraknya," tegasnya.

Oleh sebab itu, Hakeng menyarankan KKP memberikan alternatif cara pembiayaan usaha perikanan tangkap yang mudah untuk diakses kepada nelayan kecil di Indonesia.

"Lakukan pengumpulan data kapal ikan berukuran kecil dan berikan kemudahan untuk mendapatkan kredit dengan skema kredit usaha rakyat (KUR) bagi nelayan kecil," imbuhnya.

Hakeng juga mengungkap hambatan lain yang dihadapi nelayan untuk penangkapan ikan adalah mengenai retribusi atau pungutan izin daerah dalam pengurusan surat izin usaha perikanan (SIUP), surat izin penangkapan ikan (SIPI) dan surat izin kapal pengangkut (SIKPI). Para nelayan terbebani dengan tambahan biaya non operasional yang bertambah.

"Dampaknya banyak kapal nelayan kecil yang memilih tidak mendaftarkan kapalnya. Mereka melaut tanpa ada kelengkapan surat-surat tersebut," jelasnya. 

Hakeng menyarankan agar prosedur pengurusan dokumen nelayan perlu dipermudah. Lokasi layanan untuk pengurusan dokumen juga sebaiknya berada sedekat mungkin dengan pemukiman nelayan. Begitu pula dengan akses lokasi pengisian BBM yang patutnya berada dekat dengan lokasi kapal-kapal nelayan tersebut ditambatkan. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya