Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SATGAS Waspada Investasi (SWI) terus meningkatkan koordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Kepolisian RI, untuk mempercepat penindakan laporan investasi dan fintech ilegal.
“Kepolisian sudah tergabung dalam SWI. Semua temuan selalu kami teruskan kepada kepolisian untuk segera dilakukan penindakan. Ini sangat diperlukan untuk mencegah pelaku investasi ilegal dan fintech ilegal beroperasi kembali,” ujar Ketua SWI, Tongam L Tobing, dalam konferensi pers virtual bersama Bareskrim Polri, Jumat (3/7).
Dari hasil penindakan sepanjang Juni 2020, SWI menemukan 105 fintech peer to peer lending ilegal, yang menawarkan pinjaman ke masyarakat melalui aplikasi dan pesan singkat. Ratusan fintech tersebut tidak terdaftar dan tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selaku otoritas perizinan, pengaturan dan pengawasan layanan fintech peer to peer lending.
Baca juga: Celah Pandemi Covid-19, Fintech Ilegal Cari Mangsa
Maraknya fintech peer to peer lending ilegal, lanjut Tongam, sengaja memanfaatkan kondisi ekonomi masyarakat yang terdampak pandemi covid-19. “Mereka mengincar masyarakat yang saat ini kesulitan ekonomi dan membutuhkan uang. Padahal pinjaman fintech ilegal ini sangat merugikan masyarakat, karena mengenakan bunga yang tinggi dan jangka waktu pinjaman pendek,” paparnya.
“Pelaku fintech ilegal juga meminta akses semua data kontak di handphone. Ini sangat berbahaya, karena bisa disebarkan dan digunakan untuk mengintimidasi saat penagihan,” sambungnya.
Sejak 2018 hingga Juni 2020, SWI sudah menindak 2.591 fintech peer to peer lending ilegal. Lebih lanjut, Tongam menjelaskan bahwa Koperasi Sigap Prima Astrea telah dinormalisasi karena tidak melakukan kegiatan pinjaman online di luar anggota. Serta, memiliki legalitas badan hukum sesuai ketentuan.
Selain kegiatan fintech peer to peer lending ilegal, SWI juga telah menghentikan 99 kegiatan usaha, yang diduga tidak mengantongi izin dari otoritas berwenang dan berpotensi merugikan masyarakat.
Baca juga: Ekonomi Global dan Domestik Terindikasi Mulai Pulih
"Penawaran usaha ilegal ini sangat mengkhawatirkan dan berbahaya bagi masyarakat. Karena memanfaatkan ketidakpahaman masyarakat dengan iming-iming pemberian imbal hasil yang sangat tinggi dan tidak wajar," pungkas Tongam.
Di samping itu, banyak kegiatan yang menduplikasi laman entitas yang memiliki izin. Sehingga, laman tersebut seolah-olah resmi. Sejumlah entitas melakukan kegiatan sebagai berikut:
-87 Perdagangan Berjangka/Forex Ilegal.
-2 Penjualan Langsung (Direct Selling) Ilegal.
-3 Investasi Cryptocurrency Ilegal.
-3 Investasi uang.
Baca juga: Penyaluran BLT Dana Desa Capai 95%
-4 lainnya.
SWI mengimbau masyarakat untuk memperhatikan beberapa hal sebelum melakukan investasi, seperti:
1. Memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang berwenang.
2. Memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.
3. Memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media penawarannya, telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(OL-11)
Fintech Ilegal menerapkan biaya denda pembayaran Rp50 ribu per hari
Sigit mengatakan akhir-akhir ini pinjaman online diminati oleh masyarakat, karena memberikan kemudahan akses dan tidak memakan waktu yang lama.
Pinjol tersebut beroperasi di 7 ruko yang masing-masing memiliki 4 lantai. Sebanyak 32 karyawan tersebut mengoperasikan 13 aplikasi pinjol yang 3 antaranya legal.
Wisnu menyebut 56 orang pegawai lainnya masih dilakukan pendalaman penyelidikan di Mapolres Metro Jakarta Pusat
Polisi masih mengembangkan pemilik pinjol yang diduga WNA tersebut berdasarkan bukti percakapan di grup aplikasi perpesanan.
Adapun penggerebekan kantor pinjol illegal itu dilakukan pada Rabu (13/10), di ruko Sedayu Square, Cengkareng, Jakarta Barat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved