Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Pemangkasan Ekspor Karet tidak Merugikan

Andhika Prasetyo
04/4/2019 20:15
Pemangkasan Ekspor Karet tidak Merugikan
Pekerja memuat getah karet di tempat penampungan karet sementara(ANTARA)

DIREKTUR Utama PT Riset Perkebunan Negara (RPN) Teguh Wahyudi menilai kebijakan pemerintah memangkas ekspor karet alam dinilai tepat. Walaupun, penjualan ke mancanegara dikurangi, ia mengatakan, dari segi nilai, Indonesia tidak akan mengalami kerugian.

Pasalnya, dengan pasokan yang berkurang di tingkat dunia, harga karet akan mengalami perbaikan.

"Jadi walaupun volume yang kita jual lebih sedikit, nilainya tetap besar juga," ujar Teguh di Jakarta, Kamis (4/4).

Bahkan, lanjutnya, ketika tiga negara yang tergabung dalam International Tripartite Rubber Council (ITRC) yakni Indonesia, Malaysia dan Thailand baru mengumumkan rencana pemangkasan ekspor pada Desember lalu, harga sudah merangkak naik.

Hal positif itu terus berlanjut hingga saat ini dan diperkirakan masih akan menanjak dalam beberapa waktu ke depan.

Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyo berharap tren penurunan harga karet yang berlangsung sejak 2011 bisa dihentikan dengan kebijakan tersebut.

Pasalnya, jika terus terjadi, jelas yang paling dirugikan adalah para petani.

Baca juga: Kerek Harga, Ekspor Karet Dikurangi

Ia pun berharap kebijakan pemangkasan ekspor dari tiga negara produsen terbesar yang berkontribusi terhadap 70% pasokan di pasar dunia dapat mengangkat harga karet ke level tinggi.

Delapan tahun lalu, harga karet berada di level yang cukup tinggi yakni 4 dolar Amerika Serikat (AS)-5 dolar AS per kg. Kemudian, pada 2108, harga merosot tajam hingga hanya 1,2 dolar AS per kg.

Namun, pada akhir 2018 lalu, harga mulai terkerek naik perlahan ke angka 1,4 dolar AS per kg. "Ini kita berkuasa, tapi tidak berkuasa karena harga diatur internasional," ucap Kasdi.

Ia mengatakan hal itu terjadi karena Tiongkok bermain dengan menyimpan karet hingga 600 ribu ton. Hanya saja, karet tersebut adalah yang memiliki kualitas tinggi.

"Yang menjadi persoalan, dunia tidak membedakan antara karet dengan kualitas tinggi dan biasa. Padahal, pasarnya beda, penggunaannya beda," tuturnya. (OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto
Berita Lainnya