Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
DOSEN pascasarjana ilmu komunikasi Universitas Indonesia Firman Kurniawan Sujono melanjutkan sekuel bukunya yang membahas dilema manusia di tengah perkembangan teknologi. Setelah membahas dilema manusia di tengah bising social media pada buku sebelumnya, kali ini Firman menghadirkan pergolakan manusia di tengah perkembangan artificial intelligence (AI).
Buku keempat Firman itu bertajuk Digital Dilemma 4: Menyingsingnya Fajar Artificial Intelligence di Tengah Relevansi Posisi Manusia yang dirilis tahun ini, 2024. Firman mencoba menggambarkan bagaimana relevansi manusia di tengah gempuran AI sehingga bisa menempatkan diri dengan baik dan benar. Berdasarkan pandangannya, AI kerap kali menghadirkan dilema menyoal apakah manusia dirugikan atau diuntungkan atau bahkan tidak keduanya.
“Seri buku Digital Dilemma ini sebetulnya merupakan adaptasi dari disertasi S-3 saya, intinya menggambarkan bagaimana posisi manusia di tengah perkembangan teknologi. Ketika teknologi semakin berkembang, kira-kira posisi manusia diuntungkan, dirugikan, atau tidak keduanya, atau seperti apa. Saat berencana menerbitkan seri buku ini, saya ada perasaan bahwa teknologi sebetulnya sangat menjanjikan kehidupan yang lebih sempurna, tapi kemudian bagaimana dengan kemanusiaan, autentisitas manusia itu seperti apa,” ucap Firman yang ditemui saat melakukan bedah buku di Kampus Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, Jumat (30/8).
Buku setebal 286 halaman itu memuat sejumlah bab yang berkaitan dengan dilema manusia dengan kehadiran AI, baik dari sisi ekonomi, kesetaraan, maupun gender. Tergambar juga pemaparan soal bagaimana AI membuat manusia menjadi dangkal, menjadi alat yang bisa menggantikan kehadiran manusia dalam dunia kerja, sampai mengawasi gerak-gerik manusia secara real time.
Secara garis besar, buku itu condong pada pemaparan dari sisi pesimistis dengan kehadiran AI yang digadang-gadang bisa menghadirkan kesempurnaan hidup bagi manusia. Salah satu contohnya terkait dengan kesetaraan gender, banyak pemikir yang menyebut AI bisa membantu mewakili suara-suara perempuan dalam beberapa hal, tetapi Firman memiliki pemikiran lain.
Baginya, AI tidak bisa sepenuhnya membantu mempercepat inklusi dan keberagaman, apalagi mewakili suara-suara perempuan. Menurutnya, AI dibuat kaum laki-laki. Jadi, ketika yang membuat ialah laki-laki, sudut pandang yang dihasilkan pun dari kacamata laki-laki.
Hal lain yang juga disoroti pada buku ini ialah bagaimana AI membuat manusia menjadi dangkal. Kehebatan AI yang bisa membantu manusia dalam menyelesaikan berbagai pekerjaan, misalnya membantu mahasiswa dalam menyelesaikan tugas, merupakan hal yang tidak bisa dikatakan sepenuhnya baik. Secara tidak langsung, sifat AI yang memanjakan manusia membuat manusia menjadi malas berpikir sehingga seseorang tidak mampu mengelola pikirannya lebih dalam.
“Kemudian yang juga penting saya bahas pada buku ini adalah bagaimana AI secara tidak langsung mengawasi manusia secara real time, misalnya lewat algoritma pemasaran yang membuat Anda akan dipersonalisasi. Hal ini menjadikan manusia memiliki pilihan-pilihan yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan,” tuturnya.
Kendati banyak muatan yang pesimistis akan kehadiran AI, buku Digital Dilemma 4: Menyingsingnya Fajar Artificial Intelligence di Tengah Relevansi Posisi Manusia justru bisa membuka wawasan para pembaca bahwa bukan hanya orang yang memiliki latar belakang teknologi yang bisa menaklukkan AI. Banyak pihak dengan latar belakang berbeda juga bisa terlibat dalam kehadiran teknologi canggih itu.
Pemahaman seperti itu yang kemudian memunculkan secercah optimisme terkait dengan kehadiran AI. Semakin banyak perspektif dari banyak latar belakang yang terlibat dalam proses pengembangan AI akan membuat AI tidak menyingkirkan sisi-sisi kemanusiaan yang terampas.
Apa yang dihadirkan Firman dalam bukunya tidak semata berangkat dari perspektif sendiri, tetapi dia juga mengadopsi beberapa pemikiran para ahli baik yang pro maupun kontra dengan kemajuan teknologi seperti pemikiran Elon Musk, Stephen Hawking, Geoffrey Hinton, Ray Kurzweil, Peter Diamandis, dan Don Topscott.
Anda tak perlu khawatir akan kehilangan substansi dari buku bila tidak membaca sampai selesai. Dibuat ke dalam beberapa bab tentu diperuntukkan menyajikan pembahasan yang berbeda-beda, tetapi dengan benang merah yang sama. (Rif/M-3)
Judul buku:Digital Dilemma 4: Menyingsingnya Fajar Artificial Intelligence di Tengah Relevansi Posisi Manusia
Penulis: Firman Kurniawan Sujono
Penerbit: Rajawali Pers
Tahun terbit: 2024
Jumlah halaman: 286
PERNAHKAH terpikir rasanya bekerja sebagai insinyur atau (engineer) di sebuah perusahaan migas besar bahkan ditempatkan di negeri orang?
Buku Ternyata Tanpamu ialah kumpulan puisi tentang perjalanan kehilangan dan perjalanan emosi.
PANDANGAN seputar kecantikan yang membawa dampak positif pada beberapa hal dalam kehidupan tertuang di buku The Essentiality of Beauty yang diluncurkan oleh perusahaan kecantikan Loreal.
Ingin mati, tapi malah mengurus penguburan jenazah. Ingin mati, tapi malah tertunda gara-gara seporsi mi ayam.
Membungkus kisah hubungan antara Indonesia-Timor Leste menjadi lebih kekinian.
BISA jadi hari-hari berlalu bersemangat dalam berkegiatan seperti sekolah atau bekerja, tanpa pernah mengerti apa itu kesepian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved