Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kisah Para Pria Penari Lengger di Ibu Kota

Adiyanto
17/10/2023 11:11
Kisah Para Pria Penari Lengger di Ibu Kota
Para penari Lengger Lanang sebelum tampil di Kota Tua, Jakarta( Yasuyoshi CHIBA / AFP))

Malam baru permulaan. Sejumlah pria berlenggak-lenggok mengikuti irama tarian di salah satu sudut kota tua, Jakarta.  Sambil mengenakan ikat pinggang oranye dan riasan lengkap, mereka menampilkan tarian rakyat berusia berabad-abad yang disebut Tari Lengger Lanang.  Tradisi ini berakar pada ritual kesuburan dan panen abad ke-16, terutama di Jawa Tengah.

Sejak saat itu, tarian ini berkembang menjadi sebuah bentuk seni yang menantang keyakinan kaku seputar maskulinitas dalam masyarakat yang sangat konservatif dan religius. Ia dipertontonkan di jalan-jalan ibu kota (Jakarta)  maupun sejumlah gedung pertunjukan.

Lengger Lanang dibawakan oleh para pria yang berpenampian seperti putri Jawa, mengenakan gaun batik ketat berwarna-warni dan hiasan yang dijalin ke dalam sanggul rambut palsu mereka.

Namun tradisi ini hampir punah di negara berpenduduk mayoritas Muslim, dengan kurang dari 100 penampil yang cukup berani untuk mengambil bagian dalam pertunjukan kesenian ini.

“Lengger masih dipandang rendah dan mendapat stigma negatif,” kata Rianto, penari dan koreografer berusia 42 tahun kepada AFP.

“Masyarakat masih menganggap laki-laki menari sebagai hal yang melanggar norma,” kata Rianto, yang seperti kebanyakan orang Indonesia, hanya punya satu nama.

Diiringi irama dan melodi Jawa yang lincah, para penari menggoyangkan pinggul, menjentikkan jari, dan mengerlingkan pandangan menggoda ke arah penonton.

Para penari melontarkan lelucon dengan suara bariton yang khas, mengingatkan penonton bahwa mereka adalah laki-laki yang berdandan ala wanita.

“Lengger Lanang adalah tempat bertemunya maskulin dan feminin dalam satu tubuh dan bertujuan untuk menciptakan kedamaian dalam diri,” kata Rianto yang menikah dengan wanita berkebangsaan Jepang.

Seni yang Hilang

Lengger pernah menjadi kesenian rakyat yang sangat dihormati dimana para pemainnya diidolakan dan dihormati sebagai pemain yang mampu mewujudkan kedua jenis kelamin.

Namun hal ini mendapat tantangan seiring dengan berkembangnya prasangka terhadap apa pun yang dianggap terkait dengan hal-hal aneh.

Sebuah film tahun 2018 tentang penari Lengger Lanang yang berdasarkan kisah hidup Rianto mendapat pujian kritis tetapi dilarang di beberapa kota di Indonesia setelah kelompok konservatif mengatakan film tersebut mempromosikan homoseksualitas.

Di Banyumas, Jawa Tengah, tempat kelahiran Lengger Lanang, sebuah festival seni yang diadakan pada bulan September adalah salah satu dari sedikit tempat di mana bentuk seni dapat dirayakan secara terbuka.

 

Tarian ini pernah dianggap sebagai tradisi sakral di kota. “Itu adalah ritual pasca panen untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada dewi kesuburan, kemudian diadaptasi menjadi bentuk hiburan, terkadang untuk menyambut tamu agung,” kata Lynda Susana Ayu Fatmawati, peneliti budaya Universitas Jenderal Soedirman.

Bahkan saat ini untuk menjadi penari Lengger Lanang harus menjalani beberapa ritual penyucian seperti puasa, mandi di sumber mata air, dan meditasi.

Sebelum pertunjukan, para penari biasanya menyalakan dupa dan meletakkan kelopak bunga dan kelapa sebagai persembahan kepada Tuhan.

Orang terpilih

Meskipun tarian ini berakar pada tradisi, beberapa kalangan Muslim konservatif mengatakan pria tidak boleh berpakaian atau bertingkah seperti wanita.

“Dalam Islam, jelas bahwa laki-laki tidak boleh berpakaian atau bertindak seperti perempuan, dan sebaliknya,” kata Taefur Arofat, ketua Majelis Ulama Banyumas, badan Islam terkemuka di kota itu.

Bagi Rianto dan penari lainnya, persepsi tersebut menyulitkan kehidupan mereka sehari-hari.

“Menjadi penari laki-laki itu sangat sulit. Stigma masyarakat sangat negatif karena menari dikaitkan dengan feminitas,” kata Rianto.

Penari lainnya, Torra Buana, mengatakan dia harus merahasiakan profesinya. “Saya pernah menyembunyikannya dari keluarga saya, sebab beberapa orang menganggapnya sebagai hal yang negatif,” kata pria berusia 47 tahun itu. “Tapi tidak semua pria bisa melakukan tarian ini, Hanya orang-orang terpilih,” imbuhnya.

Tidak semua masyarakat Indonesia mempermasalahkan tradisi tersebut.“Ini adalah bentuk seni dan kita perlu mencegahnya agar tidak punah,” kata Hendro Utomo, seorang penonton di Jakarta.

Rianto mendirikan Rumah Lengger, sebuah sanggar tari  di mana para penari muda dapat berlatih dan mempelajari filosofi di balik seni tersebut.

Salah satu remaja yang tertarik pada tarian ini adalah Ayi Nur Ringgo, yang jatuh cinta dengan tradisi ini setelah menonton video  pertunjukan di  kampusnya.

Setelah menekuninya, dia terpaksa menghadapi komentar negatif dari teman sekelasnya. “Saya telah berdamai dengan diri saya. Saya tidak lagi peduli," ujarnya.

Di bawah naungan Rianto, ia dan rekan-rekan penarinya berupaya menjaga tradisi ini tetap lestari

“Saya ingin meneruskan dan menghidupkan kembali budaya ini. Jangan biarkan kesenian ini hilang begitu saja," tegas Rianto. (AFP/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya