Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Terapi Reptil di Brasil Diklaim dapat Membantu Penyembuhan Autisme

Devi Harahap
14/6/2023 11:36
Terapi Reptil di Brasil Diklaim dapat Membantu Penyembuhan Autisme
David de Oliveira Gomes, penderita autis mengikuti terapi reptil(Nelson ALMEIDA / AFP)

Seekor ular boa berwarna kuning dan coklat melingkari leher seorang remaja Brasil, David de Oliveira Gomes seperti syal. Tetapi pria berusia 15 tahun dengan diagnosa autisme ini justru terpesona, bukannya takut. Baginya, aksi bersama ular itu adalah terapi.

“Ular ini bernama Gold, dia terlihat kedinginan. Dia biasa makan tikus,” kata Gomes kepada terapisnya di sebuah pusat perawatan di Sao Paulo, sambil memegang ular besar itu dengan lembut saat ular itu melata di sekelilingnya.

Itulah kalimat yang ingin disampaikan oleh seorang ahli terapis, Andrea Ribeiro. Ia mendedikasikan diri untuk merawat orang-orang penyandang disabilitas, autisme atau kecemasan, dengan menggunakan metode yang tidak biasa yaitu terapi menggunakan reptil.

Baca juga: Mengenal Art Theraphy, Terapi Alternatif Mengatasi Kecemasan dan Atur Emosi lewat Seni

Menurut Ribeiro, terapi reptil dapat membantu para pasien untuk merasa rileks dan meningkatkan daya komunikasi, kemampuan motorik serta kemampuan lainnya.

“Terapi reptil menggunakan ular ini dapat melatih kemampuan bicara dan pembentukan memori,” kata terapis bicara dan bahasa itu seperti dilansir dari AFP pada Rabu (14/6).

Ribeiro telah memelopori metode ini selama satu dekade terakhir di pusat perawatan tersebut. Tak hanya ular, tempat itu memiliki ruang terbuka dimana pasien bisa berinteraksi dengan kadal, kura-kura, dan “jacare” sejenis buaya asli Amerika Latin yang banyak ditemukan di Brasil, termasuk di hutan hujan Amazon.

Meskipun perawatan ini belum terbukti secara ilmiah,  jika ditinjau secara medis telah terbukti bahwa ketika seseorang bersentuhan dengan hewan, ia akan melepaskan neurotransmitter seperti serotonin dan beta-endorfin yang memberikan rasa senang dan nyaman.

“Hal itu membuat (pasien) merasa senang dan ingin belajar dan bermain dengan reptil sehingga hal itu dapat memungkinkan kami mencapai hasil penyembuhan yang lebih baik dan lebih cepat,” kata Ribeiro.

Sebelum menemukan metode terapi reptil, Ribeiro biasa menggunakan anjing dalam sesi perawatannya. Namun, pria 51 tahun itu menemukan beberapa tingkah laku anjing tidak cocok bagi para pengidap autisme.

“Anjing sangat senang bermain dan intens berinteraksi secara terus-menerus. Itu membuat beberapa pasien merasa tidak nyaman. Hal tersebut yang membuat saya beralih ke hewan reptil yang membuat banyak orang menggeliat,” jelasnya.

Biasanya orang-orang dengan pengidap autisme cenderung suka mendekati hewan reptil tanpa prasangka dan takut. Justru hewan-hewan melata itu memicu rasa ingin tahu pasien tanpa membuat mereka merasa tidak nyaman. “Sementara itu, reptil-reptil itu seperti “acuh tak acuh” karena mereka tidak mencari perhatian seperti yang dilakukan oleh beberapa jenis mamalia,” ungkap Ribeiro.

Seorang pasien lainnya Gabriel Pinheiro terlihat sedang mengelus buaya kecil. Dia kemudian mencoba menirukan suku kata yang diucapkan Ribeiro dengan membuka mulutnya lebar-lebar sebanyak tiga kali dan mengatakan “Ja-ca-re. Ini basah,” katanya dengan mata yang terpaku pada buaya itu dari balik kacamatanya.

Sisik buaya yang keras dan perutnya yang lunak itu menjadi media untuk pasien. Terapis pun membantunya melakukan gerakan yang berlawanan lalu mereka menyanyikan lagu tentang jacare untuk melatih kemampuan memori pendengaran.

Ibu Pinheiro, Cristina yang sudah empat tahun melakukan terapi untuk anaknya itu memuji bahwa metode itu dapat membantu meningkatkan kemampuan anaknya yang berusia 10 tahun itu untuk mendengar, berkomunikasi dan memperbaiki sistem motorik. “Dia selalu senang ketika kami datang,” katanya.

Pijat reptil

Seorang pasien lainnya, Paulo Palacio Santos, 34 tahun, mengalami kerusakan otak parah akibat kecelakaan yang membuatnya lumpuh dan tidak bisa bicara. Untuk membantu memulihkan kondisi sarafnya, Ribeiro membungkus wajah Santos dengan seekor ular tebal yang berat. “Suhu dingin dari ular tersebut juga dapat membantu mengaktifkan kembali refleks saya dalam menelan makanan,” ungkap Santos.

Ribeiro menggunakan ular boa yang lebih kecil untuk melatih otot-otot di sekitar mulutnya. Kata dia, penanganan spesies ini diatur oleh otoritas lingkungan Brasil, IBAMA. Ribeiro bekerja berdampingan dengan ahli biologi Beatriz Araujo, yang bertugas memantau tingkat stres hewan dan memastikan pasien tetap aman.

Diketahui tidak pernah terjadi kecelakaan dalam 10 tahun perawatan, karena reptil-reptil yang dipelihara di tempat ini sudah terbiasa dengan kontak dengan manusia. Tidak ada ular berbisa yang digunakan. “Saya selalu berada di sini, untuk berjaga-jaga jika (seekor hewan) bereaksi secara tak terduga. Bahayanya sama dengan kontak dekat dengan hewan apa pun,” kata Araujo.(M-3)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya