Siapa yang Berhak Membangun Koloni di Bulan?

Devi Harahap
07/12/2022 08:55
Siapa yang Berhak Membangun Koloni di Bulan?
Bulan(NASA.org)

Di atas permukaan Bulan yang sepi, sunyi ,dan menakutkan itu, berkibar bendera Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Rusia. Itu merupakan penanda bahwa mereka pernah menjejakkan kaki di sana.

Sejumlah negara maju saat ini tengah berlomba mengeksplorasi luar angkasa, termasuk mengirim misi khusus ke permukaan Bulan untuk mencari sumber daya berharga dari satelit bumi itu bagi keberlangsungan masa depan.

Apakah sebenarnya mereka ingin menguasai Bulan? Apakah Bulan bisa dimiliki dan diakuisisi oleh negara tertentu?

Amerika Serikat dan Tiongkok, tercatat pernah mengibarkan bendera negaranya di permukaan Bulan. Namun, jika ditanyakan kepada pejabat mana pun dari kedua negara tersebut, mereka akan memberi pernyataan bahwa menancapkan bendera-bendera di Bulan ini tidak mewakili klaim properti apa pun.

Pemikiran untuk menguasai Bulan mulai muncul ketika Sputnik 1 milik Uni Soviet (Rusia), satelit buatan pertama di dunia, melesat melintasi langit pada Oktober 1957. Selama dekade berikutnya, komunitas internasional menyusun Outer Space Treaty of 1967 (OST), dokumen hukum pertama di dunia yang secara eksplisit berkaitan dengan eksplorasi ruang angkasa.

Pakar hukum luar angkasa di University of Mississippi School of Law, Michelle Hanlon mengatakan perjanjian itu tetap menjadi hukum antariksa yang paling berpengaruh, meskipun faktanya tidak mengikat secara teknis.

"(Perjanjian) itu bukan kode etik melainkan hanya pedoman dan prinsip," katanya seperti dilansir dari Live Science, Senin (5/12).

Meskipun kurangnya mengikat, OST mengatur tentang negara-negara yang hendak menguasai tanah di luar angkasa. Pasal 2 perjanjian OST secara eksplisit mengesampingkan kemungkinan suatu negara mengklaim kepemilikan bagian ruang angkasa atau benda langit apa pun.

"Suatu negara tidak dapat mengklaim kedaulatan di bulan, titik. Namun, masalah belum selesai, karena banyak rencana berbagai negara dan badan komersial untuk membangun struktur seperti pangkalan dan koloni di Bulan" jelas Hanlon kepada Live Science.

Sedangkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang berlaku di ruang angkasa berdasarkan Pasal 3 OST, menyatakan bahwa individu memiliki hak mendasar untuk memiliki properti. Artinya, secara hipotetis, siapa pun dapat membangun rumah di Bulan dan mengklaimnya sebagai miliknya.

Beberapa orang telah mengklaim memiliki bagian dari tanah di Bulan, termasuk Robert R. Coles, seorang mantan ketua Planetarium Hayden Kota New York di American Museum of Natural History, yang berusaha menjual tanah per hektare yang ada di Bulan pada tahun 1955.

Akan tetapi, pasal 12 OST memasukkan ketentuan yang dapat menggagalkan upaya tersebut. Peraturan tersebut tertulis bahwa setiap instalasi pada benda langit harus dapat digunakan oleh semua pihak. Dengan kata lain, itu harus berfungsi sebagai ruang publik.

Perjanjian Bulan tahun 1979 akan membantu merekonsiliasi Pasal 2 dengan Pasal 12 dengan menetapkan bahwa setiap pihak komersial atau individu yang bertindak di luar angkasa dianggap sebagai bagian dari negara asalnya, bukan entitas independen.

Sejauh ini, Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia telah gagal meratifikasi perjanjian ini, sehingga sebagian besar dianggap impoten. Saat misi seperti Program Artemis NASA dan proyek pangkalan bulan bersama Tiongkok dan Rusia dimulai, pengacara ruang angkasa seperti Hanlon harus melakukan kerja keras untuk merekonsiliasi Pasal 2 dengan Pasal 12 tersebut.

Baru-baru ini, NASA berusaha untuk mengisi beberapa celah hukum antariksa dengan Artemis Accords. Sebuah perjanjian internasional yang dirancang untuk memperlancar eksplorasi di masa depan.

Dibuat di atas Perjanjian Luar Angkasa, perjanjian tersebut menjabarkan serangkaian prinsip tidak mengikat yang mengatur aktivitas di beberapa benda langit, termasuk Bulan.

Di antara ketentuannya adalah pengakuan atas wilayah tertent di Bulan, seperti situs pendaratan satelit Luna Rusia dan jejak kaki Neil Armstrong, sebagai warisan luar angkasa yang dilindungi.

Secara khusus, perjanjian tersebut juga memungkinkan entitas untuk mengekstraksi dan menggunakan sumber daya luar angkasa, namun tidak disukai semua negara..

Sebanyak 21 negara telah menandatangani perjanjian tersebut, meskipun beberapa negara utama yang sering terlibat dalam proyek ruang angkasa termasuk Rusia, telah menolak berdasarkan klausul ini, yang mereka anggap memberikan keuntungan yang tidak adil bagi kepentingan bisnis Amerika.

Ada jalan lain untuk mengklaim properti tanpa benar-benar mengklaim properti di bulan. Misalnya, penggunaan peralatan ilmiah, seperti penjelajah atau seismometer stasioner, berpotensi berubah menjadi klaim tanah de facto jika tim peneliti melarang orang lain mendekati peralatan mereka. Semua ini pasti akan menjadi masalah hukum dalam beberapa dekade mendatang.

"Dalam banyak hal, ini bukan masalah yang secara langsung dihadapi. Tapi pada akhirnya, kita harus berhati-hati tentang bagaimana cara melanjutkan penjelajah ruang angkasa secara bertanggung jawab," imbuh  Hanlon.(M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya