Headline

Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.

Fokus

Pasukan Putih menyasar pasien dengan ketergantungan berat

Semangat Berolahraga

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
05/9/2021 05:00
Semangat Berolahraga
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

TEMAN saya rajin berolahraga, terutama lari dan bersepeda. Hampir tiap pekan dia melakukan aktivitasnya tersebut dan menggunggahnya di media sosial. Kadang hasil jepretannya sendiri (swafoto), tapi lebih sering hasil bidikan fotografer jalanan yang hampir di tiap penghujung pekan selalu hunting para atlet dadakan seperti kawan saya itu. Keren sih, apalagi wajahnya fotogenik. Soal apa motivasinya melakukan aktivitas tersebut, saya tidak tahu. Yang pasti dia bergerak, berkeringat, dan semoga saja selalu bugar dan sehat.

Olahraga biasanya memang identik dengan kesehatan. Tidak hanya raga, tapi juga jiwa. Makanya ada istilah ­olahraga dan rekreasi. Selain sehat fisik, jiwa juga mesti terhibur. Bahkan olahraga permainan seperti basket dan sepak bola, harus pula ada unsur hiburannya bukan semata kompetisi.

Lionel Messi bermain bola bukan cuma demi kebugaran fisiknya, tapi sekaligus juga menghibur penonton, baik yang hadir di stadion maupun lewat siaran televisi. Begitu pun kawan saya tadi, ia berlari atau bersepeda bukan semata agar berdampak pada penampilan fisiknya, melainkan juga kepuasaan batinnya jika follower-nya di Instagram memberi like atau pujian.

Harus diakui, kehadiran teknologi, terutama digital, telah mengubah pola aktivitas manusia, entah dalam hal bekerja, berniaga, maupun berolahraga. Ia bahkan bisa menggeser ruang sehingga orang tidak perlu lagi stadion, veledrome, atau sirkuit.

Tahun lalu, misalnya, ketika pandemi sedang ganas-ganasnya mengamuk di eropa, penyelenggara Moto-GP menggelar balapan virtual. Marc Marquez dkk tidak perlu lagi adu cepat di sirkuit, tetapi dalam layar komputer. Sejumlah gim ketangkasan bahkan kini juga digolongkan sebagai salah satu kategori olahraga atau yang disebut e-sport.

Kalau di era Orde Baru di tahun 80-an dulu ada jargon mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga, kini mungkin kita bisa menyebut istilah mendigitalkan olahraga dan mengolahragakan digital. Keduanya sama, secara langsung ataupun tidak, dapat menggerakkan masyarakat untuk berolahraga.

Bedanya, jargon yang pertama merupakan produk pemerintah untuk memobilisasi rakyatnya dengan ‘setengah memaksa,’ sedangkan 'jargon' yang kedua rekayasa para ‘cukong’ yang membuat kita tanpa sadar secara sukarela mengonsumsi sepeda atau peralatan olahraga bermerek ataupun gim konsol dan gawai keluaran terbaru.

Sejarawan dan juga kritikus sosial Amerika, Christopher Lasch dalam bukunya The Culture of Narcissism menyebut olahraga merupakan candu masyarakat konsumer yang mampu mengalihkan orang dari masalah nyata keseharian menuju dunia mimpi glamor dan ekstasi (kepuasan). Sepak bola, misalnya, dapat membuat orang melupakan sejenak kemiskinan, kesusahan, bahkan perang. Begitu pun di masa pandemi ini, olahraga bisa menjadi semacam pelarian. Selain berdampak pada kebugaran fisik, ia juga dapat mengatasi kebosanan di tengah terbatasnya aktivitas sosial.

Permasalahannya kini ialah bagaimana pintar-pintarnya kita bersiasat di tengah kepungan bujuk rayu para ‘cukong’ tersebut. Tidak perlulah membeli sepatu bermerek atau sepeda seharga puluhan atau bahkan ratusan juta. Apalagi, sampai harus korupsi dan menerima upeti, hanya sekadar untuk gowes di akhir pekan dan memamerkannya di media sosial. Lagi pula, bebas-bebas saja mau berolahraga atau tidak. Toh, ini bukan lagi era Orde Baru saat kita ‘dipaksa’ melaksanakan ritual wajib seperti Senam Kesegaran Jasmani, yang rutin digelar setiap Jumat. Salam Olahraga!



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik