Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

In The Heights, Mimpi Kelas Pekerja Latin di Amerika

Fathurozak
11/6/2021 16:35
In The Heights, Mimpi Kelas Pekerja Latin di Amerika
Salah satu adegan film In The Heights(Foto dok. Warner Bros. Pictures)

Film In The Heights digarap oleh sutradara John M. Chu (Crazy Rich Asians), dari naskah panggung karya Lin Manuel Miranda dan Quiara Alegria Hudes. Beberapa tahun belakang, kita melihat karakter nenek menjadi karakter penting dalam menarasikan generasi keluarga imigran di Amerika.

The Farewell (2019) garapan Lulu Wang misalnya menyorot Nai Nai dan Billi untuk merekonstruksi nilai-nilai antar generasi. Minarinya Lee Isaac Chung yang membawa Yuh Jung-youn meraih Oscar tahun ini juga menaruh karakter nenek untuk membawa narasi kunci dalam film.

In the Heights, juga setidaknya bisa diasosiasikan pada dua film tersebut. Karakter Nenek Claudia (Olga Merediz), yang merupakan generasi terdahulu dari imigran latin Amerika menjadi jembatan bagi para generasi imigran latin di Amerika yang lebih muda dalam menggali nilai-nilai dan akar asal mereka.

Meski tanpa hubungan darah, Claudia menjadi pengemong bagi para generasi yang lebih muda dalam upaya meraih mimpi-mimpi kecil mereka. Usnavi (Anthony Ramos) yang membuka toko bermimpi untuk kembali ke negara asalnya, Republik Dominika dan membuka usaha. Vanessa (Melissa Barrera), yang bekerja di salon ingin membuka usaha butik dan mengejar mimpinya menjadi desainer. Dan Nina (Ariana Greenblatt), yang jadi orang pertama dari kawasan itu yang kuliah di Stanford University, tapi cukup takut malah semakin jauh dari akarnya.

Semua itu diceritakan dari sudut pandang dan dinarasikan Usnavi, ke anaknya dan teman-temannya. Dengan latar yang seolah Usnavi telah kembali ke Republik Dominika, berada di bar yang terletak di pantai berpasir putih.

In the Heights berlatar di Washington Heights, permukiman di New York yang menjadi rumah bagi para migran latin di Amerika. Isu soal gentrifikasi juga sebenarnya mencuat. Bagaimana proses itu muncul dari pola produksi ruang yang timpang. Dan datangnya sosok yang berpenghasilan tinggi yang berupaya membeli properti di permukiman itu. Sayangnya ini tidak jadi fokus dan pembahasan utamanya. Soal status para migran, juga sebenarnya menjadi topik yang potensinya bisa diutamakan. Tapi ini hanya muncul sebagai sub kisah lewat representasi karakter Sonny (Gregory Diaz), keponakan Usnavi yang terancam tidak bisa mengakses pendidikan tinggi akibat status kewarganegaraan dan kepemilikan kartu hijau (ktp AS).

Juga dalam scene protes publik yang menuntut hak-hak para imigran. Ini kemudian turut megubah pemikiran Nina, yang mulanya merasa kuliah di Stanford justru menjauhkan dari komunitasnya, tetapi melihat realitas itu malah menjadi titik keberangkatannya untuk memperjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat komunitas di lingkungannya tumbuh.

Naskah layar yang ditulis Quiara Alegria Hudes memang lebih banyak menyorot soal upaya para generasi migran latin yang lebih muda dalam mewujudkan mimpi mereka.

Nenek Claudia, sebagai karakter kunci menjadi jembatan untuk membaca film musikal ini bagaimana upaya-upaya para karakter migran yang lebih muda menerjemahkan eksistensi mereka. Mengejar mimpi besarnya atau memaknai yang menjadi sehari-hari di Washington Heights, dan menjadikan itu sebagai perwujudan mimpi kecil. Film ini juga adalah soal dilema-dilema itu. Bagaimana para generasi kedua imigran latin Amerika

Layaknya format musikal klasik ala Hollywood, bagian saat menyanyikan suatu lagu juga menjadi cara untuk menjelaskan kisah yang lebih spesifik dari karakter tertentu. Dalam bagian Claudia, yang diramu dengan apik secara koreo dan visual menceritakan linimasa perjalanannya saat ia bersama sang ibu. Bagaimana perjuangannya tentang mencukupi hidup, beradaptasi dengan bahasa baru, dan tentang keterasingan sebagai imigran.

Keberagaman budaya

Sebagai sumber dari akar nilai budaya latin bagi komunitasnya, Claudia adalah entitas yang mengenalkan mereka yang tidak sempat mengenal budaya seperti dari kuliner, pakaian, hingga nilai filosofis membuatnya sebagai seorang perawat bagi para yang bermukim di Washington Heights.

Sikap yang mendahulukan kepentingan orang lain Claudia itu lalu yang menjadi benang merah untuk karakter lainnya. Saat orang-orang membicarakan siapa yang menang lotre, Claudia menyimpan nomor lotrenya hingga akhir hayat untuk diserahkan ke Usnavi. Memenuhi impian material bukan lagi hasrat utamanya. Begitu juga Usnavi, yang urung kembali ke Republik Dominika dan memilih menggunakan uang dari nomor lotre, untuk pembiayaan Sonny dalam advokasi mendapatkan kartu hijau. Juga Nina, yang mulanya tertekan dengan pemenuhan harapan dari bapaknya yang mempertaruhkan segala bisnis demi anaknya rampung kuliah pada akhirnya menemukan impian kecilnya demi komunitasnya.

In the Heights juga menjadi film yang merepresentasikan keberagaman budaya latin yang kaya, alih-alih Miranda dan Hudes memilih komunitas latin yang homogen. Bendera-bendera yang beragam dirayakan dalam pesta, tarian, dan nyanyian yang semarak. Maka film ini juga adalah tentang perayaan dan tribut bagi komunitas imigran latin di Amerika. Meski memang secara sensibilitas isu rasial kurang tertangkap di sini. Tapi barangkali itu juga bukan gaya Miranda dalam menyajikan karya musikal, dengan tegangan yang muram. Ia lebih bersandar pada gaya romantisme yang riang. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Adiyanto
Berita Lainnya