Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Bersahabat dengan Alam

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
28/2/2021 05:00
Bersahabat dengan Alam
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

PEKAN lalu, kawasan Kemang serta beberapa wilayah Jakarta dan sekitarnya tergenang. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut air yang menggenangi sebagian wilayah yang dipimpinnya itu karena intensitas hujan yang tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan curah hujan di Jakarta pada akhir pekan lalu itu mencapai 226 milimeter per hari. Lembaga pemantau cuaca itu menyebut, angka itu masuk kategori cuaca atau hujan ekstrem karena di atas 150 milimeter per hari.

Soal fakta itu saya sepakat dengan Anies dan juga BMKG. Pertanyaan selanjutnya, apa yang telah dan akan dilakukan ke depan? Apalagi, BMKG memperingatkan cuaca ekstrem semacam itu akan terus melanda berbagai wilayah di Indonesia hingga akhir Februari 2021 atau awal Maret 2021, termasuk Jakarta, kota yang sejak zaman kolonial hingga era milenial kerap banjir.

Ironisnya, meski berkali-kali kebanjiran, tidak lantas membuat kita jadi pintar atau ahli menangani persoalan tersebut. Padahal, bukankah pepatah mengatakan pengalaman ialah guru yang terbaik? Seperti halnya Jepang yang begitu sigap dalam menghadapi gempa, setelah negara itu kerap digoyang lindu berulang- ulang. Letak geografis Jakarta lebih rendah dari Bogor, itu fakta. Sebelum bermuara ke teluk Jakarta, air dari Kota Hujan ini, pasti melewati ibu kota tanpa perlu permisi. Begitu pun curah hujan (entah itu dengan intensitas, rendah, sedang, ataupun tinggi), kita tidak dapat mencegahnya.

Hal yang bisa kita lakukan ialah bersahabat dengan alam, bukan mengingkarinya. Penduduk Jepang yang kerap kali diguncang gempa tidak lantas berbondong-bondong hijrah atau mencari suaka ke negara lain. Mereka juga tidak pasrah, apalagi menuding kondisi alamnya sebagai biang kerok yang sering melahirkan malapetaka. Mereka justru melahirkan sejumlah pakar tsunami, kelautan, geologi, dan itu sebagai bagian dari strategi mereka bersahabat dengan alam.

Pada 18 Februari lalu, PBB telah merilis laporan Making Peace with Nature. Laporan itu menjadi cetak biru yang menawarkan ‘rencana perdamaian’ terintegrasi untuk menangani tiga keadaan darurat lingkungan yang saling terkait, yakni krisis iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi, yang tidak dapat diselesaikan secara terpisah. “Eksploitasi kita terhadap alam telah membuat planet ini hancur,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam kata pengantar laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) tersebut.

Ketika emisi yang menyebabkan perubahan iklim terus meningkat, hilangnya keanekaragaman hayati semakin cepat, dan pandemi baru muncul, solusi lingkungan yang dilakukan selama ini terbukti belum memadai. Sebagai jawabannya, laporan PBB itu merupakan cetak biru untuk segera menyelesaikan keadaan darurat yang terjadi di planet melalui sintesis berbagai kajian lingkungan global. Artinya, semua persoalan ini perlu dicarikan solusinya melalui ilmu pengetahuan.

Nah, kembali ke negara yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, seberapa banyak kita mampu melahirkan sarjana geologi, pakar tsunami, atau ahli gempa, dan bandingkan misalnya dengan jumlah ahli hukum atau sarjana ekonomi? Bukan berarti kedua bidang itu (hukum dan ekonomi) tidak penting, melainkan menciptakan pakar geologi, vulkanologi, tsunami, kelautan, dan planologi atau tata kota, tidak kalah krusial, seperti halnya menciptakan seperangkat aturan/regulasi atau menghitung uang dan investasi. Itu kalau kita ingin bersahabat dengan alam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya