Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Kontemplasi Teknologi

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
21/2/2021 05:00
Kontemplasi Teknologi
Adiyanto Wartawan Media Ind(MI/Ebet)

GUNUNG Gede-Pangrango di Jawa Barat, tiba-tiba saja terlihat jelas dari kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Pemandangan langka itu diabadikan fotografer Ari Wibisono di akun Instagramnya, Rabu (17/2/2021). Disebut ‘langka’ karena kecil kemungkinan bagi warga ‘Metropolutan’ (kota yang sehari-harinya penuh polusi, terutama asap kendaraan) ini, bisa melihat gunung itu dari kejauhan. Makanya di bawah foto itu, Ari menyertakan caption: “Pemandangan Gunung Gede Pangrango di Kemayoran Jakarta Pusat Pagi ini, menandakan Kualitas udara sedang bersih Jakartans ?? #JakartaLangitBiru.” Artinya, Ari yang terpesona lantas berkontemplasi dan bertanya apakah pemandangan itu bisa terlihat karena udara Jakarta sedang bersih.

Foto ini lantas viral. Banyak netizen yang membagikan ulang foto Ari tersebut, termasuk akun Twitter Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta @dinaslhdki. “Pemandangan Gunung Gede Pangrango di Kemayoran Jakarta Pusat Pagi ini, menandakan Kualitas udara sedang bersih,” tulis akun @dinaslhdki. Perdebatan pun muncul saat foto ini disebut ‘tempelan’ oleh fotografer senior, Arbain Rambey, di twitter. Cicitan Arbain ini juga memantik netizen nimbrung dalam perdebatan itu. Namun, bukan semata soal teknik fotografi atau permasalahan lingkungan yang dibahas, melainkan melebar ke ranah politik, perdebatan usang sebagai buntut drama pilkada di DKI Jakarta sebelumnya.

Saya pribadi tidak mau membahas perdebatan itu, apalagi kabarnya Arbain telah meminta maaf dan berdamai dengan Ari. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin berandai-andai dan melihatnya dari sisi lain, terutama perilaku warganet. Selain Ari, apakah ada netizen, terutama di Jakarta yang terpesona dengan pemandangan pada hari Rabu lalu itu dan mengabadikannya entah dalam bentuk foto, puisi, ataupun lagu? Mungkin ada, tapi saya yakin tidak banyak. Wong yang umumnya berseliweran di media sosial kebanyakan juga foto selfie, bersepeda, atau orang sedang makan-makan.

Pertanyaan selanjutnya ialah apakah mereka juga betul-betul concern dengan kualitas udara Jakarta yang sehari-hari mereka hirup? Apakah mereka tahu sekitar 160 ribu kematian dini, terjadi di lima kota terpadat di dunia akibat polusi, pada tahun lalu? Apakah mereka juga mau mencari tahu apa saja kandungan partikel berbahaya diembuskan asap kendaraan yang mereka kredit selama ini? Jangankan udara yang tak terlihat, sampah yang menyumbat selokan depan rumah saja kerap kali dibiarkan.

Begitulah umumnya kelakuan warganet, riuh di dunia maya tanpa mau menyelami kedalaman makna. Lihat panorama pantai dan sawah, langsung ‘jepret’, tanpa ada upaya melihat airnya yang mulai dilarungi plastik, tanpa mau tahu nasib petaninya yang kian sekarat. Dapat informasi sumir, tergesa dijadikan warta tanpa menyelidik asal-usulnya. Gandrung berdebat, tanpa paham esensi yang semestinya diperdebatkan. Jadi, tak usah heran, jika yang kini marak muncul cuma clickbaiters dan budak konten pemburu adSense, bukan seniman apalagi ilmuwan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya