Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Musim Hujan

Adiyanto Wartawan Media Indonesia
13/12/2020 10:38
Musim Hujan
Adiyanto Wartawan Media Indonesia(MI/Ebet)

HUJAN ialah bentuk lain neraka kecil di kota ini. Begitu status yang saya unggah di dinding Facebook, persis di awal Januari lalu. Itu bentuk ungkapan ngawur saya di warung kopi lantaran jengkel setelah lelah berkeliling mencari jalan menuju kantor.

Kala itu, banjir mengepung Jakarta. Air menggenang di segala sudut kota. Entah, apakah hari itu ada yang menulis puisi atau senandung tentang hujan. Mereka yang rumahnya langganan banjir, barangkali sependapat dengan ungkapan saya atau malah mungkin biasa-biasa saja lantaran sudah terbiasa.

Hujan, dalam konteks di atas, bukan lagi sekadar air yang tercurah dari langit. Ia jadi bebas tafsir, tergantung dari sudut mana Anda memandang. Seorang Axl Rose, vokalis Guns and Roses, mungkin memandang hujan di negerinya, Amerika, sana dengan romantis meski bernada murung. Sementara itu, Robi dari band Navicula, dalam sebait liriknya dengan marah menyebut ‘alam berkonspirasi tenggelamkan kota ini’. Pria asal Bali itu jengkel dengan semrawut Jakarta, terutama kala hujan. Sebagai orang yang lahir dan besar di Jakarta, saya juga pernah merasakan banjir, meski air tidak pernah sampai masuk rumah. Ironisnya, hingga hari ini, persoalan itu tidak kunjung usai, meski berbagai seminar berskala nasional maupun internasional yang membahas perkara itu telah digelar.

Banjir, sesungguhnya bukanlah bencana alam seperti halnya gempa bumi atau tsunami. Dia ialah sisa air hujan yang berlimpah, tetapi gagal menyesap ke tanah atau mengalir ke laut sehingga menggenangi daratan. Sesuai sifatnya, air bergerak dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Itu sudah hukum alam. Itu sebabnya, ketika membangun Batavia, pemerintah Belanda membangun kanal-kanal agar air dari wilayah Bogor atau puncak yang notabene kontur tanahnya lebih tinggi, bisa mengalir sampai Bina Ria (Ancol ). Proyek itu pun memang belum bisa menjamin Jakarta bebas banjir. Namun, setidaknya, mereka telah membangun fondasi infrastruktur kota sebagai drainase mengantisipasi curah hujan yang cenderung meningkat, terutama di akhir dan awal tahun.

Makanya, saya sepakat dengan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa persoalan banjir ialah persoalan manajemen air. Namun, tidak elok juga jika menuding persoalan utamanya ada di hulu, entah itu Bogor ataupun Depok. Itu karena berkurangnya daerah resapan di kedua wilayah tersebut, juga terjadi di Jakarta dan berkorelasi dengan persoalan demografi , termasuk penduduk Ibu Kota. Sebagai wilayah yang kotanya banyak dilalui sungai, Pemprov DKI seharusnya juga memikirkan bagaimana air bisa bermuara di teluk Jakarta dengan lancar tanpa perlu berlama-lama bertamu di rumah warga. Apalagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofi sika (BMKG) pun sudah sejak jauh-jauh hari mengingatkan bahwa Jabodetabek bakal dilanda cuaca ekstrem.

Kita tahu Jakarta kota rawan banjir. Jadi, masalahnya soal mitigasi. Normalisasi, naturalisasi sungai, entah apa pun namanya, tetap diperlukan dalam mengatur laju air. Hal sederhana, tapi penting, yang juga perlu ialah pengerukan sungai dan selokan, serta mengedukasi warga, terutama generasi muda, agar tidak buang sampah sembarangan, apalagi ke sungai atau comberan. Mumpung sudah masuk musim hujan, mending diingatkan lagi dalam berbagai forum atau mimbar bahwa menjaga kebersihan itu penting dan merupakan bagian dari iman. Jangan mereka cuma ditakut-takuti cerita soal surga dan neraka, tanpa diingatkan ‘neraka sesungguhnya’ yang dapat terjadi di depan mata.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya