Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Pritta Novia Lora Damanik Selalu Ada Jalan untuk Kerja Kemanusiaan

FATHURROZAK
06/12/2020 04:35
Pritta Novia Lora Damanik Selalu Ada Jalan untuk Kerja Kemanusiaan
(DOK. PRIBADI)

TANGGAL 5 Desember selalu diperingati sebagai Hari Relawan Internasional ( International Volunteers Day/IVD). Tahun ini kerja kerelawan an punya nuansa berbeda ketika pandemi covid-19 menggelora di berbagai negara.

Di tengah keterbatasan pada aktivitas pertemuan dan pengumpulan massa, pandemi justru kian memperlihatkan peran vital para relawan di tengah masyarakat. Sejak awal masa pandemi, misalnya, kita banyak melihat inisiasi komunitas dalam menggalang berbagai bantuan.

Tahun ini, IVD yang juga diinisiasi, salah satunya oleh badan kerelawanan PBB (UN Volunteers-UNV) mengusung tema Together we can through volunteering.

Media Indonesia pun berkesempatan mewawancarai relawan UNV asal Indonesia, Pritta Damanik. Perempuan yang fokus pada isu perlindung an anak itu telah merancang pedoman dukungan psikososial bagi siswa dan guru selama covid-19. Sejak Mei, panduan tersebut telah disalurkan ke para guru secara gratis. Berikut petikan wawancara dengan Pritta mengenai aktivitas kerelawanannya selama pandemi, juga isu kerja-kerja kerelawanan dewasa ini.

Mengapa Anda merasa perlu membuat pedoman dukungan psikososial?


Dukungan psikososial ialah bagaimana orang-orang di sekitar saling mendukung, agar kesehatan mental tetap terjaga. Dukungan itu tidak sekadar diartikan dengan, misalnya, kegiatan-kegiatan yang membuat anak-anak senang. Ketika memberi perhatian, itu juga bentuk dukungan psikososial.

Di sisi lain, para guru yang tadinya mengajar tatap muka, tiba-tiba dihadapkan pada pembelajaran daring. Sementara itu, kapasitas sangat terbatas. Ini bisa menyebabkan stres. Ada yang terganggu dari kita masing-masing. Oleh sebab itu, diperlukan dukungan psikososial.

Dalam segala situasi yang berubah, perempuan dan anak menjadi yang paling rentan. Itulah kenapa yang saya sasar juga ialah siswa. Mereka berada di posisi paling rentan. Yang tadinya sekolah rutin, lalu harus di rumah. Tidak punya panduan jelas, guru juga trial and error untuk pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Dulu dukungan psikososial bisa dilakukan dengan mendatangi langsung wilayah-wilayah yang terdampak bencana. Namun, yang bisa saya lakukan saat pandemi ialah dengan membuat dokumen tertulis panduan yang bisa digunakan dan bisa diakses banyak orang.

Bagaimana pelaksanaan sejauh ini?


Awal Mei, saya lakukan pelatihan dengan melibatkan mitra Unicef, salah satu dosen di Universitas Negeri Makassar. Saat itu ada 80 guru yang terlibat. Kami belum memiliki anggaran cukup untuk pendistribusian nya.

Pada Agustus, bertepatan dengan program pelatihan tanggap covid-19, pada dokumen itu saya berikan tambahan panduan dukungan psikososial. Sejauh ini, di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah, ada 680 guru yang sudah mengikuti pelatihan dukungan psikososial.

Jadi, saya melatihkannya ke para guru. Kalau langsung ke anak-anak, usahanya akan lebih besar lagi. Prinsip psikososial itu kan menguatkan orang yang punya tanggung jawab di bagian tersebut. Anak atau siswa ialah tanggung jawab orangtua dan guru.

Ada pemantauan lebih lanjut?


Dalam situasi dan waktu terbatas ini, memang tidak melakukan pemantauan ke sistem penggunaan dan lainnya secara intensif dalam bentuk dukungan psikososial. Namun, karena saya juga terlibat dalam program tanggap covid-19 perlindungan anak, jadi bisa melakukan pemantauan dari situ. Misalnya, pembelajaran life skill anak selama pandemi, dengan guru menyosialisasikan tema berbeda tiap minggunya, anak akan mengikuti, dengan semua responsnya
secara daring.

Di lain sisi, juga ada program pemberdayaan anak-anak untuk membuat konten di media sosial. Seperti tantangan membuat ulasan buku manajemen menstruasi selama pandemi, video pencegahan perkawinan anak, dan video perisakan siber. Intensitas penggunaan internet meningkat, nilai plusnya mereka jadi melek teknologi, tetapi yang perlu diantisipasi juga ialah munculnya perisakan siber. Membuat kami perlu melakukan tambahan dalam pedoman dukungan
psikososial untuk anak.

Selama berinteraksi dengan guru pelaku PJJ, apa keluhan utama mereka?


Ketika saya melakukan uji coba daring, mereka lebih banyak yang curhat. Ada hal-hal seperti pertanyaan bagaimana menghadapi anak-anak yang tidak  pernah hadir dalam pembelajaran daring. Keluhan lainnya, ada beberapa guru yang kesulitan berbagi waktu. Karena jarak jauh juga, jadwalnya jadi fl eksibel sekali, dan sulit untuk dimonitor. Sementara itu, yang dikeluhkan orangtua juga seperti jadwal anak-anak yang berbeda. Selain itu, juga keluhan mengenai sistem dan platform

Saat ini wacana sekolah tatap muka mengemuka lagi, menurut Anda?


Ada guru-guru yang memang berfokus pada hal tersebut. Bagaimana nanti kalau tatap muka kembali. Mungkin dengan situasi yang sekarang ini ada yang sudah terbiasa. Nanti ketika kembali masuk sekolah akan ada perubahan lagi yang terjadi. Akan muncul keterkejutan.

Oleh sebab itu, perlu transisi. Saya sudah mengatakan ini jauh sebelum wacana sekolah tatap muka. Sekolah perlu menyiapkan rencana transisi. Pada bagian psikososial, sekolah dan orangtua perlu membangun kesepakatan terlebih dulu. Model pembelajarannya bagaimana. Manajemennya seperti apa jika memang tidak 100% masuk, seperti apa gilirannya. Itu yang perlu disiapkan.

Fokus kerelawanan Anda ialah perlindungan anak. Bagaimana situasi kerja di tahun ini?


Tentu banyak penyesuaian dalam programnya. Di Unicef, kami menjadikan siswa sebagai agen perubahan. Dengan semua kegiatan itu berjalan di sekolah. Tentu tahun ini tidak bisa.

Jadi, saya melakukan penyesuaian dengan melihat beberapa perusahaan rintisan edukasi. Saya menyarankan mitra saya mengadaptasi modul ke dalam paket pembelajaran daring. Model pembelajaran dicoba seperti rintisan perusahaan edukasi. Siswa diajak bergabung dalam pertemuan virtual.

Situasi perisakan juga berubah. Tidak bertemu (di sekolah pun), itu (perisakan) masih bisa terjadi dengan berpindah ke media sosial dan grup perpesanan. Misalnya, penyebaran foto ‘jelek’ oleh temannya, atau wajah temannya dibuat menjadi stiker.

Dalam isu perkawinan anak pada masa pandemi ini, kami juga banyak merumuskan strategi. Salah satunya dengan membuat virtual meeting dengan anak-anak, dengan forum anak di Sulawesi Tengah dan Barat. Kami menampung suara anak-anak. Mereka pun sadar pandemi juga bisa menyebabkan potensi perkawinan anak meningkat karena tidak termonitor.

Bagaimana Anda melihat situasi kerja kerelawanan secara umum di masa pandemi?


Pandemi membuka kesempatan adanya volunteering online. Memang juga masih banyak teman relawan kita yang harus melayani di lapangan, bahkan berada di garis terdepan pada masa pandemi ini. Namun, kita juga bisa menemukan bentuk-bentuk lain kerelawanan di ranah daring.

Di masa ini kita banyak memproduksi media informasi. Sebab itu, perlu ada tenaga-tenaga tambahan. Seperti melakukan translasi atau saat webinar dibutuhkan relawan untuk memanajemen acaranya, atau memanajemen bagian registrasi.

Sebenarnya tidak ada halangan untuk tetap melakukan aktivitas kere lawanan maupun kegiatan sosial di masa pandemi. Untuk teman-teman yang masih melakukan aktivitas kerelawanan di lapangan tentu perlu memperhatikan protokol kesehatan, menggunakan alat pelindung diri, dan menjaga keseimbangan
hidup.

Lalu, di masa seperti ini, beban kerja meningkat, tetapi terkadang para relawan terlalu fokus bekerja melayani orang lain sehingga lupa mengenai kesejahteraan mental mereka. Tentu itu tidak boleh diabaikan. Dari UNV, ada sesi khusus mengenai kesehatan mental para relawan di masa pandemi.

Seperti apa tren kerelawanan yang muncul pada belakangan ini?


Basis kerelawanan sangat variatif. Ada yang memang tradisional, dengan bergabung ke organisasi dengan massa besar. Ada juga yang menginisiasi organisasi baru. Ada yang memang fokus pada isu tertentu, ada yang basisnya acara.

Saat ini sudah jauh lebih advance. Kalau kita berpikirnya kerelawanan itu identik dengan hal sosial, di Indonesia perkembangannya sudah jauh. Ada anak-anak muda yang misalnya menginisiasi untuk mengajari anak-anak belajar coding. Mereka yang punya kemampuan di dunia IT juga membuat kerelawanan untuk
menyiapkan anak-anak punya kemampuan ini.

Pada perayaan IVD tahun ini, UNV sebagai salah satu pelopornya, kita semua diajak untuk menebarkan cinta. Para relawan juga diajak untuk fokus pada tema-tema covid-19, seperti melawan hoaks, menyebarkan informasi covid-19, dan membantu tenaga medis.

Apakah saat ini kerja kerelawanan sudah bisa dikategorikan sebagai pekerjaan profesional?


Ada beberapa organisasi yang memang meminta relawan secara profesional dan bekerja penuh waktu. Hal itu juga yang saat ini saya lakukan bersama UNV dan Unicef. Menjadi relawan profesional, tentunya dibutuhkan pengalaman yang cukup mumpuni dalam suatu bidang. Untuk mendapatkan skill tersebut, kita bisa mulai dari aktivitas relawan di komunitas atau memasukkannya ke rencana karier.

Memang berbeda secara komitmen waktu dan kapasitas, tetapi semangatnya tetap sama, yaitu saling memberikan pemberdayaan. Mungkin di Indonesia belum banyak organisasi yang memfasilitasi para relawan profesional atau bisa jadi belum populer. Namun, di luar negeri banyak orang yang menjadi relawan profesional, bahkan UNV juga membuka rekrutmen international volunteer.

Bagaimana kualifi kasinya?


Kualifi kasinya tergantung dengan kebutuhan dan visi tiap-tiap organisasi. Kalau memang semangatnya sosial atau kemanusiaan, tentunya akan mencari relawan profesional yang punya latar belakang pendidikan dan pengalaman lapangan yang relevan.

Saya tidak bisa juga menggeneralisasi karena setiap organisasi yang mewadahi aktivitas kerelawanan punya nilai dan misi masing-masing. Untuk pengalaman
saya secara pribadi sebagai relawan profesional, kinerja kita diukur, melakukan pelaporan, ada aktivitas di kantor dan lapangan, jadi ya selayaknya orang yang bekerja profesional. (M-2)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Triwinarno
Berita Lainnya