Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
SEBELUM pandemi, insinyur perangkat lunak Allen Dantes mesti bolak-balik setiap hari dari apartemennya di Mar Vista ke markas ChowNow di Playa Vista, California, Amerika Serikat. Jarak antara kantor dan tempat tinggalnya sekitar 4 mil jauhnya. Namun, seiring merebaknya pandemi, pada Maret lalu, perusahaannya menginstruksikan karyawan boleh bekerja dari rumah hingga pemberitahuan lebih lanjut.
Ini membuat Dantes, 27, dapat bekerja dari apartemen kecil dengan dua kamar tidur yang dia bagi bersama pacarnya. Beberapa pekan lalu, mereka membeli rumah dengan ruangan lebih luas di Sacramento seharga US$415 ribu. Mereka tetap bekerja, meski tak satu pun dari perusahaan mereka memiliki kantor di sana. Mereka cukup mengerjakannya di rumah.
Cerita tentang Dantes yang saya baca di situs Los Angeles Times pada 12 November lalu itu, mungkin dialami jutaan pekerja lainnya di dunia, termasuk Anda dan saya. Kebijakan bekerja dari rumah atau work from home terpaksa sementara dilakukan sejumlah perusahaan saat awal pandemi covid-19 merebak. Wabah yang hingga delapan bulan ini tidak jelas kapan berakhirnya, membuat sebagian perusahaan (terutama di Amerika Serikat), mulai memberikan pilihan bagi pegawai untuk bekerja dari mana pun mereka inginkan, secara permanen.
Facebook dan Twitter, beberapa di antaranya yang menawarkan opsi ini. Pada Mei lalu, CEO Facebook, Mark Zuckerberg, memperkirakan setengah dari seluruh karyawan mereka akan bekerja dari rumah dalam 5 hingga 10 tahun ke depan. “(Kapan) akan kembali membuka kantor, itu terserah kami,” ujar kepala sumber daya manusia Twitter, Jennifer Christie. “Kapan karyawan akan kembali ngantor, itu juga akan jadi hak mereka.”
Sebagai sebuah wacana, kebijakan ini menarik didiskusikan. Apakah istilah bekerja (harus di kantor/pabrik) yang selama ini jadi penggerak roda mesin kapitalisme, masih layak dipertahankan. Tentu saja tidak semua jenis usaha bisa dikerjakan karyawan dari rumah. Namun, dengan kehadiran teknologi, terutama internet, setidaknya ada jenis pekerjaan tertentu yang bisa dikerjakan (istilahnya di-remote) dari mana pun.
Ini tentu jadi tugas para pemimpin atau pemilik perusahaan untuk memikirkan kembali cara menjalankan bisnis, mengelola karyawan, dan membentuk budaya perusahaan. Kebijakan ini tentu ada plus-minusnya. Perusahaan memang telah berinvestasi mahal dengan menyewa atau mendirikan kantor, bahkan ada yang sampai bertingkat-tingkat dan mewah. Namun, mereka pun bisa berhemat biaya tagihan listrik, internet, air, telepon, dan sebagainya, jika sedikit karyawan yang masuk kantor. Ruangan pun barangkali bisa digunakan untuk hal lain yang menghasilkan benefit.
Dari sisi karyawan juga menguntungkan, terutama yang tinggal di kawasan pinggiran, seperti Tangerang, Cileungsi, Depok, atau Bekasi. Setidaknya mereka tidak perlu bermacet-macet ria dengan lalu-lintas Jakarta. Kata budayawan Seno Gumira Ajidarma, dari senja ke senja, waktu terlewat tak terasa di Jakarta. Masih untung jika yang telah dikerjakan bermakna dan sesuai apa yang diinginkan, tapi bagaimana jika sebaliknya karena keterpaksaan, sekadar demi menghidupi keluarga atau gengsi. Apa tidak sia-sia menghabiskan umur di jalan? Jika memungkinkan, seorang kawan saya malah kepikiran untuk pindah ke Yogyakarta dengan alasan biaya hidup lebih murah dan dekat dengan keluarga besar.
Di Amerika Serikat hal semacam ini sudah terjadi, seperti yang dilakukan Dantes dan pacarnya itu. Para pengusaha di ‘Negeri Paman Sam’ menilai, pekerja mereka bisa sama produktifnya meski bekerja di mana pun, selama dibantu alat komunikasi, teknologi, dan kesejahteraan yang lebih baik untuk mempermudah pekerjaan mereka.
Bagi majikan, aset (tenaga kerja) mereka jadi lebih bahagia, tingkat resistansi konflik di kantor pun berkurang, dan minimnya biaya perawatan gedung. Keuntungan terbesar lainnya ialah kini mereka bisa merekrut karyawan baru dari mana pun, yang di masa lalu tidak mungkin mereka pekerjakan lantaran terbentur domisili.
Nah, bagi Anda para CEO atau pemilik perusahaan, apakah tertarik dengan wacana semacam ini? Silakan direnungkan sembari menikmati akhir pekan. Salam sehat, jiwa raga.
Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra.
Biar bagaimanapun, perang butuh ongkos. Ada biaya untuk beli amunisi dan peralatan tempur.
WAKTU pemungutan suara untuk pemilihan presiden (pilpres) ataupun legislatif (pileg) tinggal menghitung hari
Seperti halnya virus korona, bentuk patologi sosial semacam itu kini juga masih ada dan bergentayangan. Mereka cuma bermutasi menjadi bentuk lain, dari yang kelas teri hingga kakap.
Ditambah dampak fenomena El Nino, bisa dibayangkan bagaimana ‘kerasnya’ hidup di Ibu Kota dalam beberapa hari ke depan.
Meskipun banyak yang berharap Work From Home (WFH) bisa mengatasi burnout, kenyataannya WFH tidak selalu menjadi solusi efektif bagi kesehatan mental pekerja.
Menurut WHO, model kerja dari rumah dapat menciptakan kondisi berbahaya, yakni berdampak buruk bagi kesehatan karyawan.
PT AXA Insurance Indonesia berhasil meraih sertifikasi ISO 27001, standar internasional untuk manajemen keamanan informasi.
Pandemi global telah memicu tren yang berbeda dalam perbaikan rumah dan renovasi, khususnya menjelang Lebaran tahun ini.
ASN DKI Jakarta mulai besok mulai diterapkan WFH 50%. Namun akan ditingkatkan menjadi 75% saat KTT ASEAN berlangsung.
Pola kerja secara hybrid selain menjaga agar tenaga kerja yang lebih sehat, mengutamakan kesejahteraan karyawan,serta dapat mendorong tim yang terlibat dapat termotivasi,
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved