Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
PUNCAK musim hujan di Indonesia belum lagi tiba, tetapi korban telah berjatuhan. Pada Selasa (27/10), di Pangandaran, Jawa Barat, misalnya sedikitnya dua orang tewas akibat tanah longsor. Selain itu, ratusan kepala keluarga juga terdampak bencana yang dipicu intensitas hujan tinggi dan struktur tanah yang labil tersebut. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pangandaran, menyebut enam desa dan empat kecamatan terendam banjir.
Padahal, pertengahan Oktober lalu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati telah mewanti-wanti fenomena La Nina sudah menghampiri negeri ini dan diperkirakan puncaknya pada Desember-Januari bersamaan masuknya musim hujan. La Nina merupakan fenomena yang menyebabkan hujan di suatu kawasan turun secara berlebihan. BMKG memprediksi hampir seluruh wilayah Indonesia terdampak La Nina sampai akhir 2020, terkecuali Sumatra.
Pernyataan ibu yang cantik ini telah dikutip berbagai media, baik cetak, online, maupun televisi. Dikemas dalam berbagai wujud, mulai berita biasa, headline, hingga talkshow interaktif. Namun, seperti biasa, berita peringatan itu berlalu begitu saja. Ia tidak semengkhawatirkan SMS peringatan habisnya masa tenggang kartu seluler atau kuota data. Ia juga tidak membuat kita jadi kepengin melongok selokan atau parit di depan rumah, apakah ada sampah yang menumpuk atau kotoran yang menyumbat, misalnya. Paling-paling yang sibuk konsolidasi hanya BPBD setempat.
Padahal, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, merupakan potensi bencana nyata yang jelas-jelas bakal menghiasi hari-hari kita ke depan. Mereka siap menerjang siapa saja. Mereka yang kaya mungkin bisa mengungsi ke mana saja jika rumah atau mobilnya kebanjiran, meski tetap saja repot. Apalagi mereka yang tidak bisa lari ke mana-mana. Di tambah lagi ada wabah korona, apa nanti enggak bakal makin sengsara? Umpel-umpelan di tenda pengungsian menahan dingin dan perut lapar. Memamg sih bakal masuk televisi, tapi sekadar jadi drama tahunan. Setelah banjir surut, mereka kembali dilupakan karena tak lagi memiliki 'nilai jual'.
Tanpa La Nina pun, negeri ini rawan bencana. Suka atau tidak suka, kita tinggal dan hidup di dalamnya. Jangan dulu jauh-jauh bicara potensi gempa Megatrust yang menakutkan itu, curah hujan di akhir tahun saja selalu bikin repot. Ironisnya, bukan solusi permanen yang muncul, malah terus berulang dijadikan komoditas politik di berbagai daerah, yang tak berkesudahan.
Sebagai penduduk yang hidup di daerah rawan bencana, sudah semestinya pentingnya mitigasi jadi misi dan kesadaran bersama. Tidak hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga warga (dan juga media). Mereka yang tinggal di dekat sungai, misalnya, harusnya menjadikan itu sebagai urat nadi kehidupan, bukan sekadar tempat membuang limbah. Percuma pengerukan, normalisasi, atau entah apa pun istilahnya, jika mindset warga ini tidak diubah. Ini yang mesti terus disosialisasikan.
Untungnya, banyak anak muda yang secara swadaya kini mulai menggeluti permasalahan ini. Mulai memilah dan mendaur ulang sampah rumah tangga, membersihkan sungai, hingga merawat mangrove. Mereka tak hanya mengandalkan fisik dengan terjun ke sungai atau laut, tetapi juga mencurahkan pikiran dengan mengedukasi warga tentang pentingnya menjaga lingkungan. Pemerintah dan beberapa perusahaan swasta, memang sebagian ada yang menggandeng mereka. Namun, sebagai agen pembangunan, alangkah eloknya jika juga ada policy lebih serius dari pemerintah terhadap permasalahan ini. Entah lewat regulasi maupun kurikulum sekolah, seperti Jepang.
Mungkin itu bisa dimulai dari cara melihat pengertian bencana itu sendiri. Genangan, misalnya, tetap saja bikin repot dan bawa penyakit karena bukan semestinya air ada di jalan atau pekarangan warga, berapa pun lamanya ia bertamu di sana. Ini juga mesti disadari warga dan juga mungkin media. Dalam meliput bencana, misalnya, kesampingkan dulu jargon bad news is a good news. Kendati 'cuma' dua yang tewas pada peristiwa di Pangandaran itu, mereka manusia yang punya keluarga seperti halnya kita semua, bukan statistik belaka. Makanya, ayo jangan pernah lelah untuk terus saling mengingatkan.
TANTANGAN dalam mengatasi dan melakukan mitigasi bencana di dunia saat ini disebut semakin kompleks. Berbagai isu global seperti perubahan iklim hingga tekanan urbanisasi menjadi pemicunya.
VIKTOR Lake tampak serius menulis kata demi kata hingga kalimat diatas secarik kertas. Sepertinya ia memeras otak untuk menciptakan sebuah dongeng.
Workshop ini bertujuan memperkuat kapasitas masyarakat dalam memahami, menghadapi, dan merespons bencana secara inklusif dengan pendekatan berbasis kearifan lokal.
Sebanyak 69 titik di wilayah Kabupaten Karawang, Jawa Barat, kini dikategorikan sebagai kawasan permukiman kumuh.
Dedi memulai langkah dengan melakukan tindakan tegas di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor. Ini penting untuk mengurangi dampak hujan yang terjadi di kawasan tersebut.
Praktik lokal mitigasi bencana di Aceh dan irigasi Subak di Bali adalah contoh bentuk-bentuk kearifan lokal dalam menangkal dampak perubahan iklim yang dapat direproduksi di tempat lain.
Contoh lainnya pemimpin yang gagal mengelola urusan beras ialah Yingluck Shinawatra.
Biar bagaimanapun, perang butuh ongkos. Ada biaya untuk beli amunisi dan peralatan tempur.
WAKTU pemungutan suara untuk pemilihan presiden (pilpres) ataupun legislatif (pileg) tinggal menghitung hari
DI salah satu grup perpesanan yang saya ikuti, salah satu topik yang sedang ramai diperbincangkan ialah lolosnya timnas Indonesia
Bayangkan pula berapa ton kira-kira limbah yang dihasilkan dari poster ataupun spanduk tersebut di seluruh Indonesia?
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved