Headline
Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.
GEMAS dan geram. Begitu kurang lebih perasaan yang muncul seusai menuntaskan novelet Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982. Karya penulis Cho Nam-joo itu dialihbahasakan dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama pada 2019.
Kim Ji-yeong ialah tokoh utama dalam buku yang tayang perdana di Korea Selatan pada 2016. Lewat kisah Ji-yeong, yang dituturkan lewat sudut pandang orang ketiga, pembaca akan menyimak betapa menyesakkannya hidup dalam masyarakat yang melanggengkan diskriminasi gender.
Cerita dibuka dengan keanehan perilaku Ji-yeong, kurang lebih setahun setelah ia melahirkan putrinya. Ji-yeong, saat itu musim gugur 2015, berusia 34 tahun. Ji-yeong acap bermimik dan berbicara seperti orang lain. Kadang seperti ibunya, kadang seperti kakak kelasnya. Sang suami, Jeong Dae-hyeon, akhirnya mengajak Ji-yeong ke psikiater setelah Ji-yeong menampakkan keanehan itu saat di rumah mertuanya.
Cerita lalu bergulir mundur. Ji-yeong mulai mencicipi ketidakadilan sedari kecil. Saat itu, laki-laki dipandang lebih berharga ketimbang perempuan di masyarakat. Yang meresahkan, pelakunya, sering kali ialah para perempuan itu sendiri. Di keluarga Ji-yeong, neneknya marah jika ia mengudap susu adik laki-lakinya, dengan kemarahan yang seolah menyatakan, ‘Berani-beraninya kau mengambil barang milik cucu laki-laki kesayanganku?’ (hlm 22).
Adik laki-lakinya selalu mendapat makanan yang paling utuh dan bagus. Jika ada dua porsi kudapan, ia akan diberi satu porsi sendiri. Sementara itu, Ji-yeong dan kakak perempuannya berbagi satu porsi tersisa. Adik laki-laki mereka selalu memperoleh barang-barang yang terlihat serasi, sementara barang-barang Ji-yeong dan kakaknya tidak pernah terlihat serasi (hlm 23).
Kesenjangan perlakuan tidak hanya di lingkup rumah tangga. Di SD Ji-yeong, anak laki-laki selalu mendapat nomor urut awal dan bisa makan siang lebih cepat, sementara anak perempuan mendapat nomor urut akhir dan harus makan siang terburu-buru.
Saat SMA, Ji-yeong dikuntit seorang siswa yang sekelas dengannya sepulang kursus. Namun, alih-alih penghiburan, Ji-yeong yang ketakutan justru dimarahi sang ayah. Ayahnya berkata, harusnya Ji-yeong berhati-hati, harus berpakaian pantas, menghindari jalan yang berbahaya. Kalau tidak sadar dan tidak menghindar, ia sendiri yang salah (hlm 66).
Saat bekerja, seksisme pun tetap ada. Ji-yeong dan rekan sesama perempuan sering diberi klien yang sulit. Bukan karena lebih kompeten, melainkan karena bos mereka merasa lebih berharga mempertahankan karyawan laki-laki--dengan memberi mereka tugas yang lebih mudah--ketimbang karyawan perempuan.
Segala perlakuan yang dirasakan dan dilihat Ji-yeong sepanjang hidupnya itu barangkali terekam di alam bawah sadar, menjadikan ia menyubordinatkan dirinya. Saya katakan barangkali karena tidak ada narasi yang menjelaskan ketika Ji-yeong, di banyak scene, justru memilih diam saat ingin berargumen atau membalas komentar nyinyir. Namun, pada saat ia membalas pun, Ji-yeong malah menyesal. Itu perasaannya seusai marah lantaran suaminya berkata akan membantu mengurus anak. Pikir Ji-yeong, bukankah mengurus anak itu perkara bersama? Artinya, yang dilakukan sang suami mestinya bukan dianggap suatu ‘bantuan’, melainkan memang kewajiban.
Dengan penuturan yang mengalir, buku ini menggambarkan diskriminasi gender yang begitu sistematis dalam publik Korea. Namun, penulis tidak asal ‘blablabla’. Ia kerap menyitat hasil riset ilmiah guna memperkuat narasinya. Umpama, saat menuturkan aborsi yang dilakukan ibu Ji-yeong saat janin ketiganya ialah perempuan. Penulis menyertakan latar tentang kebijakan keluarga berencana di Korea yang pada satu waktu melegalkan aborsi dengan alasan medis dan ‘janin perempuan’ entah bagaimana sering jadi ‘alasan medis’. ‘Hal itu membuat pemeriksaan jenis kelamin dan aborsi atas janin perempuan meluas’, seperti ia kutip dari buku Peluang Keluarga karya Park Jae-heon et al.
Buat pembaca yang mencari ‘jawaban’, ini mungkin bukan buku kesukaan Anda. Tidak ada konklusi atas kisah Ji-yeong. Malah, penulis memasukkan twist yang bisa jadi menggelisahkan pengharap ‘happy ending’.
Kemudian, kendati menyebutkan soal depresi pascakelahiran, penulis tak mengelaborasi lebih jauh dari aspek klinis. Walakin, dari fokus penceritaan, bisa disimpulkan depresi itu bukan semata dipicu lelahnya menjadi ibu, melainkan akumulasi dari hal-hal yang sekian lama mengendap di diri Ji-yeong sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat misoginis--sikap berprasangka negatif terhadap perempuan yang lantas melahirkan diskriminasi, seksisme, juga kekerasan.
Yang pasti, cerita Ji-yeong ialah cerita banyak perempuan. Bukan hanya di Korea, melainkan juga di berbagai tempat di muka Bumi ini, dari zaman bahela hingga zaman digital. Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 sepatutnya menjadi refleksi agar kita membuat dunia ini lebih baik, lebih adil terhadap perempuan. Kalau tidak keburu untuk kita, paling tidak untuk anak-anak perempuan kita kelak. (Sha/M-4)
PERNAHKAH terpikir rasanya bekerja sebagai insinyur atau (engineer) di sebuah perusahaan migas besar bahkan ditempatkan di negeri orang?
Buku Ternyata Tanpamu ialah kumpulan puisi tentang perjalanan kehilangan dan perjalanan emosi.
PANDANGAN seputar kecantikan yang membawa dampak positif pada beberapa hal dalam kehidupan tertuang di buku The Essentiality of Beauty yang diluncurkan oleh perusahaan kecantikan Loreal.
Ingin mati, tapi malah mengurus penguburan jenazah. Ingin mati, tapi malah tertunda gara-gara seporsi mi ayam.
Membungkus kisah hubungan antara Indonesia-Timor Leste menjadi lebih kekinian.
BISA jadi hari-hari berlalu bersemangat dalam berkegiatan seperti sekolah atau bekerja, tanpa pernah mengerti apa itu kesepian.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved