Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Adios El Pibe De Oro

Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group
28/11/2020 02:50
Adios El Pibe De Oro
Suryopratomo Dewan Redaksi Media Group(MI/Seno)

“A man of genius is unbearable, unless he possesses at least two things besides: gratitude and purity.” Friedrich Nietzsche, on love, perseverance, and moving beyond good v evil.

MILAN, 23 Juni 1990. Sudah lebih 10 tahun nama Diego Armando Maradona disebut-sebut sebagai seorang genius sepak bola. Sejak penampilannya di ajang Kejuaraan Dunia Junior U-20 1979 di Tokyo, Jepang, ia sudah digadang-gadang menjadi bintang besar masa depan seperti halnya Pele.

Maradona membawa Argentina menjadi juara dunia junior dengan sepak bola menyerang yang menakjubkan. Selama turnamen, ‘Tim Tango’ bukan hanya tidak tertahankan, tetapi juga mencetak 20 gol dan hanya kebobolan dua kali.

Bersama Ramon Diaz, rekan satu timnya, Maradona berbagi 14 gol yang mereka cetak, 5 di antaranya ke gawang kesebelasan Indonesia yang dijaga kiper Endang Tirtana.

Setahun sebelumnya, Maradona sebenarnya dinominasikan untuk masuk ke Timnas Argentina ke Piala Dunia 1978. Namun, pelatih Cesar Luis Menotti melihat anak muda kelahiran 30 Oktober 1960 itu lebih baik dimatangkan mentalnya di ajang junior agar siap tampil di level senior.

Maradona sempat sangat terpukul gagal tampil di Piala Dunia 1978. Apalagi, ajang itu dilangsungkan di negaranya sendiri. Namun, empat tahun kemudian di Spanyol, ia belajar betapa kematangan sangat dibutuhkan jika ingin menjadi mahabintang. Maradona harus menelan pil pahit diusir wasit keluar lapangan saat baru menjadi pemain pengganti sewaktu menghadapi ‘musuh bebuyutan’, Brasil.

Julukan El Pibe de Oro baru pantas dilekatkan kepada Maradona di Piala Dunia 1986 Meksiko. Ia benar-benar menjadi ‘Anak Emas’ dengan gerakan magic-nya membawa Argentina untuk kedua kalinya menjadi juara dunia.

Nama Maradona kian melambung dan menjadi pemberitaan di manamana. Apalagi, ia pribadi yang penuh kontroversi. Gol ‘tangan Tuhan’ yang dicetak ke gawang Inggris di perempat final Piala Dunia 1986 menjadi cerita yang tidak pernah ada habisnya, bagaimana ia bisa mengelabui kiper kawakan Peter Shilton dan wasit asal Tunisia Ali bin Nasser.

Ditambah dengan kesuksesannya untuk membawa klub kecil Napoli menjadi juara Seri A dan bahkan merebut Piala UEFA, Maradona menjadi sosok yang saya ingin lihat langsung penampilannya di lapangan hijau. Ajang Piala Dunia 1990 Italia merupakan kesempatan emas bagi saya untuk bisa melakukannya karena saya mendapatkan akreditasi sebagai wartawan peliput ajang kompetisi sepak bola empat tahunan itu.

Bersama mantan kapten kesebelasan nasional Indonesia, Ronny Pattinasarany, yang menjadi kolumnis sepak bola, saya antusias untuk datang ke Stadion San Siro yang menjadi tempat pertandingan pembukaan Piala Dunia 1990. Sebagai juara bertahan, Argentina mendapat kehormatan memainkan partai perdana menghadapi 'singa yang tidak mudah dijinakkan' Kamerun.

Sebagai kapten, Maradona harus mendekat ke arah tribun untuk menentukan siapa yang mulai menendang bola dan di mana posisi yang dipilih. Di situlah saya melihat bagaimana geniusnya seorang Maradona. Bola yang ada di tanah, dia injak dengan kaki kirinya yang kuat itu, bola kemudian bergerak ke atas melalui kakinya, lalu dalam beberapa detik sampai ke bahunya. Maradona pun memulai magisnya dengan melakukan juggling sehingga membuat pendukungnya langsung histeris dan berteriak-teriak menyebut namanya.

 

\Seorang genius

Maradona memang bukan hanya pesepak bola, melainkan juga lebih seperti seniman. Ia tidak ubahnya seperti pelukis yang dari coretannya bisa menjadi gambar yang indah, atau komposer yang menciptakan sebuah lagu yang enak didengar.

"Ia memang artis karena bisa membuat dari yang tidak ada dan mengubahnya menjadi sesuatu yang ada," tutur sastrawan Argentina Juan Sasturain.

Maradona pun menjadi bukti nyata dari prinsip self fulfilling prophecy, bahwa keyakinan itu akan membuat sesuatu yang semula dianggap mustahil bisa menjadi kenyataan. Dari keluarga yang sangat miskin dan harus menumpang di rumah saudaranya, Maradona bisa tumbuh menjadi bintang, sosok yang terkenal dan menjadi sorotan dunia, serta hidup berkelimpahan.

Sejak kecil, Tuhan memberikan bakat yang luar biasa kepada Maradona. Ketika umur 3 tahun, ayahnya, Chitoro, menghadiahi dia bola. Maradona langsung jatuh cinta kepada olahraga yang satu ini. Pada usia 8 tahun, keterampilannya semakin meningkat.

Bakat besar itulah yang menarik perhatian pelatih remaja Argentinos Juniors, Francisco Cornejo. "Ketika Diego datang ke Argentinos Juniors mengikuti tes, saya sungguh kagum dengan bakatnya dan tidak percaya bahwa usianya 8 tahun. Apalagi, ia tidak bisa menunjukkan bukti kelahirannya sebab kemampuan bermainnya tidak seperti anak berusia 8 tahun. Setelah dipastikan bahwa ia memang jujur, kami melatihnya dengan sungguh-sungguh," ujar Cornejo.

Pada usia 12 tahun, sebagai anggota Los Cebollitas, tugas Maradona menjadi penghibur penonton saat tim senior Argentinos Juniors turun bertanding. Di saat waktu istirahat pertandingan, Maradona diminta memainkan juggling bola di tengah lapangan.

Ternyata ia bukan hanya pandai melakukan akrobat bola. Ketika mendapat kesempatan untuk bermain, Maradona menunjukkan penampilan yang tidak dimiliki banyak pemain. Dengan tinggi badan 1,65 meter, tumpuan badannya di lapangan memang menjadi sangat kukuh. Ia memiliki kemampuan menggiring bola yang istimewa sehingga mampu melewati beberapa pemain sekaligus. Semua pemain lawan yang ditugaskan menjaganya selalu kesulitan karena Maradona bisa tiba-tiba berhenti saat sedang berlari kencang dan mengubah arah permainannya.

Visi bermain yang sangat luas, kontrol bola yang sempurna, dan operannya yang sangat terukur membuat Maradona benar-benar istimewa. Gairahnya yang tinggi serta rasa tanggung jawab kepada tim yang begitu besar membuat Maradona menjadi kapten kesebelasan yang diharapkan semua rekan timnya.

"Diego ialah pemimpin yang selalu mampu mencari jalan ketika tim menghadapi kesulitan di lapangan. Diego selalu bisa melakukan yang pemain lain tidak bisa melakukan. Kalaupun kami kalah, ia akan memikul semua beban dan kesalahan itu sendiri. Begitu berpengaruhnya dia bagi tim," ujar penentu kemenangan Argentina di final Piala Dunia 1986, Jorge Valdano.


Memabukkan

Keberhasilan, kebesaran, dan ketenaran ternyata memabukkan. Maradona kemudian menjadi pribadi yang berubah. Apalagi, ketika ia ditarik dari Boca Juniors ke Barcelona sebagai pemain termahal di dunia pada saat itu, yakni dengan nilai transfer 5 juta pound sterling. Hidupnya berubah menjadi bergemilangan kekayaan.

Maradona pun mulai berkenalan dan kemudian terjebak narkoba. Kecurigaan sebenarnya sudah mulai muncul. Apalagi, ketika dua tahun kemudian ia pindah ke Napoli. Namun, ia selalu bisa lepas dari hasil tes doping.

Sang kapten kesebelasan selalu bisa lolos dari pemeriksaan karena selalu bisa menukar urine dengan urine orang lain. Setelah dianggap menjadi 'musuh' para tifosi akibat menggagalkan mimpi Italia memenangi Piala Dunia 1990, Maradona sebenarnya sempat tertangkap positif tes doping. Namun, ketika itu ia masih diselamatkan dugaan balas dendam yang dilakukan mafia Italia.

Maradona pun sempat mengecap tampil keempat kalinya di ajang Piala Dunia 1994. Namun, harapannya untuk mengembalikan kebesaran gagal karena hasil tes doping membuktikan ia positif menggunakan narkoba. Ia pun dicoret dari tim saat turnamen bergulir.

Cerita kebesaran Maradona pun ikut berakhir. Hidupnya kemudian lebih dipenuhi dengan upaya pengobatan dari ketergantungan narkoba. Sempat, pemimpin Kuba Fidel Castro mencoba menyelamatkan mahabintang sepak bola itu dengan menjalani perawatan di Havana.

Namun, rupanya ketergantungan sudah sangat parah. Maradona yang begitu gagah dan simbol dari perjuangan kelompok masyarakat miskin untuk menjadi bintang berubah menjadi sosok yang pantas dikasihani. Pada peringatan ulang tahun ke-60 pada 30 Oktober lalu, kondisi Maradona benar-benar seperti orang yang tidak memiliki tenaga. Bahkan, untuk menerima hadiah ulang tahun ia tidak berdaya.

Pada 25 November lalu, Maradona meninggal dunia setelah jantungnya tidak mampu lagi berdenyut. Tidak keliru apabila Nietzsche mengatakan, menjadi orang genius itu memikul beban yang luar biasa beratnya. Hanya orang yang memiliki rasa syukur dan kemurnian yang bisa menanggung beban berat itu. Adios El Pibe de Oro.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya