Puisi-puisi Ella Juliana

Ilustrasi: Katya Ulitina 

Wajah Sepanjang Pagi 

Bangun! Sepenggal usaha untuk turun 
Waktu tak sanggup mengeja sikapmu 
Memanusiakan manusia di luar hakikat. 
Tenggelam! Hati mana tak kau maknai 
Pergilah sebelum gencar bertutur lisan! 

Tuntutan bahayakan keinginan 
Menghakimi jalan realistis pikiran 
Pernyataan tak menjadi perwujudan. 
Hanya mulut-mulut hujam keangkuhan 
Tak usah tuntun tuk berdialog dan berjalan. 
Berbicara, tak perlu semua orang mendengar 
Cukup wajah menyapamu sepanjang pagi mekar. 
Juga sore yang masih kau pandangi keberadaannya. 

Gresik, 7 September 2022 


Prakata Lalu 

Tak sempat kuulang prakata yang tertunda dalam ingatan. Tak sempat pula kutulis waktu berbalas budi. Sekiranya terbiasa; mengenang nama dalam masa. Temaram merindukan cahaya. Angka-angka sepanjang hari berlalu. Berangsur membaik jika sepuluh tahun mungkin tiba. Yang dibangun sebagai perhiasan kenangan waktu. 

Aku, satu cakrawala tetaplah sama. Kau pandangi meski jauh terkesan menanda. Membayangi kita yang saat itu pernah bersama. Sudahilah bila doa menyatukan harapan. Biarlah pilihan sebagai nyawa yang saling menghidupi. Kenangan tak mengubah apapun setelah mengenal. Bahkan perpisahan terlanjur suguhi pertemuan yang bijaksana. 

Gresik, 11 September 2022 


Nona Sempurna

Non, tak perlukah kita saling mengasihi?
Lantara sebatas rindu dipelukan. 
Memegang tanganmu saja di saat lebaran 
Kita berkuasa seutuhnya dalam doa. 

Non, tak usah menyempurnakan kisah kita 
Sudah seharusnya memang baik seperti dugaan. 
Tetapi kau tahu, pikirku sempit, meluaskan sakitmu 
Kupikir itu yang terbaik bagi kita. 
Namun kau banyak menilai kesalahpahaman 
Juga aku yang terlalu menghakimi masa depan.

Masihkah sama perasaan kemarin kau temukan? 
Teduh rasanya rinduku jatuh menghadapmu. 
Walau sampainya terlalu lama, sedangkan 
Kisah beruntutan saling meninggalkan. 
Meski bukan hatiku yang menasbihkan, 
Kau lebih memahami perasaan. 
Sisanya kita yang beradu tanggapan. 

Non, jaga hakikat yang lebih tulus daripada cinta
Entah apa terjemahan yang kau muat di atas rupa. 
Aku pasrah pada hati yang tak perlu diperbaiki 
Atau dinasehati supaya memahami. 
Pegang saja erat-erat keheningan 
Terasa menjauh namun saling mendekatkan.
Sebab hanya ayat yang memimpin persinggahan 
Jawabanku selama ini sudah layak kau temukan. 

Gresik, 12 September 2022 


Mengulang Pulang 

Mengapa terulang kesalahan yang sama? 
Sedang kami menunggu jiwa yang nyata.
Mengapa semena-mena berwisata senja?
Sedang kami larut dalam peringai praduga.
Menit berdetak sampai tiada waktu bertemu.
Tetapi menunggu terus menghawatirkanku 
Dimana keheningan menakutkan 
Menanti langkah mewakili kepergian. 

Datanglah segera, meruntuhkan gundah
Tiada mengira kau yang terhitung tabah.
Meringkus ketidakpuasan masa lalu
Terlintas, seluruh ruang indah dunia.
Tidakkah kau lupa, tak semua makna 
Pulang berkehendak menerima kita. 

Gresik, 14 September 2022 


Aku, satu cakrawala tetaplah sama. Kau pandangi meski jauh terkesan menanda.  


Pergi

Aku bernegosiasi mewujudkan mimpi 
Mewakili hati yang terburu-buru pergi. 
Ketika langkah kaki bukan hanya sendiri 
Kusampingkan pengasingan kehendak diri.
Bukan hanya satu imajinasi yang tertipu ilusi 
Bapak dan ibu di ruang hampa menatap iba. 
Tak tega jauhkan bahagia, walau mimpi berbahaya 
Tertera di sekitar nyawa yang hendak bersenyawa. 
Bergurau menertawai kepergian yang tertunda 
Bak kuulang kembali, semangat mengayun emosi. 
Seharusnya kutenggok Bandung, Jakarta, Yogyakarta atau Bali 
Seharusnya kuliput senja bersama kata yang bermanifestasi 
Berkarya menceloteh prestasi. 

Tak masalah bila kutuang warna 
Dalam rupa abstrak yang berjiwa 
Asal aku pergi dengan berita di laman utama. 
Tak masalah bila kumengelabuhi kawanan kata 
Agar dibacakan pula karyaku dalam gerak bahasa 
Asal aku pergi di antara sebundel rahasia sejarah. 

Semuanya kukira bisa berpunya dan berkata 
Ternyata membungkam kenyataan yang terlanjur diam. 
Sebab ini ujarku perlahan; 
Menganyam lagi keinginan, bukan masalah besar tentang impian. 
Tetapi apa yang menyenangkan sepatutnya tanpa dasar orang berpandangan. 
Menuruti saja pilihan hati, meski umur tak menjanjikan kesuksesan 
Tetapi obati setiap jengkal udara yang mulai membawa intuisi. 

Biarlah rumah mengurungku dalam kesendirian 
Membiasakan kata berkontemplasi pada keheningan. 
Menghitung semenit kebelakang penuh kenangan 
Biarkan rumah yang mengikhlaskan kepergian. 
Menghadapi setiap penantian pada kesempatan 
Bermisi menghabiskan hari di antara sajak dini. 
Pulanglah semua mimpi, di rumah kita mewujudkan janji 
Tentang sukses yang akan kuraih nanti. 
Dan kuakrabi masa dengan kata, membaur menamatkan waktu 
Untukku bernostalgia bahwa masa lalu seikhlasnya bertamu. 

Gresik, 14 September 2022 


Ilustrasi Diri

Aku pernah pergi jauh 
Mengilustrasikan situasi ampunan diri. 
Tak sebanyak harapan lari tanpa pamrih
Pukulan tiba menjauhkan permisi, 
Termaktub pada dasar lengking di jiwa. 
Tak terkira, kabur menjauhkanku dari mulut peristiwa 
Bergegas manusia menggerus mampu. 
Yang sebenarnya masih tak tahu 
Hanya kebetulan yang menguatkan abu-abu waktu. 
Kalau pulang sekadar dipersilakan membuka kata 
Jikalau pergi mengumpalkan suara bebal di kepala. 

Gresik, 15 September 2022 


Ibarat Mama 

Ma, hari tua tak akan menjanjikanmu berpangku luka. Kaki dan tangan laiknya mendekap wajah yang selalu kau jumpa. Di jendela kita tak perlu kelambu untuk mengintip bahagia. Jangan pulang terlambat di waktu malam, aku butuh surga. Sepanjang nyawa, kau masih jadi pagar di relung jiwa. Memberhentikan lelah seketika, lalu nyaman menyibak kata. Dan ketika menangis, ada senja di pelupuk mata. Ya, matamu obat seluruh nestapa. Aku butuh ruang walau hanya menatap kedua rupa. Penjelasan pun tak susah kucari tanpa bertanya. 

Jangan terlampau mengibaratkan dunia, Ma... Saat kita pulang tak perlu lagi dunia maya di sela-sela kepala. Kau menjadi saat inilah, aku menjadi putrimu yang bangga. Jangan salah menghukum, ibarat hidup telah menukar masa. Bukankah masa lalu kau berkecukupan pula harta? Bahkan ini hari klise sekali potret bersama menyebut kenang seketika. Ditakjubkan keadaan mengagungkan seluruh kerasnya hampa. Luruh semua perasaan beranjak mendewasa. Begitupun tubuhku mengecil seketika menyisir wajah. Membaringkan seluruh kesan dalam petang rangkulan purnama. 

Seharusnya tak pernah ada kesal menyalahkan usia. Bukan keadaan menabur berita-berita di samping putus asa. Tetapi hati yang menunjuk suatu masa secara tabah. Seperti biasa saja terayun romansa dalam langkah. Atau harmoni yang menyebut dirinya berjibaku warna. Teruslah bersamaku, Ma... Walaupun aku tak seibarat ini saat bicara. Aku hanya perlu kamu berharga saat aku ada. Berada di sebelah manapun, terletak semampunya. Kau dan aku tak perlu hebat tuk meneruskan dialek sempurna. Hanya sepertinya, satir manusia takkan berhenti memberita. 

Gresik, 16 September 2022 

 

Baca juga: Sajak Kofe, Ruang Puisi di Media Indonesia
Baca juga: Puisi-puisi Saras Dewi

 

 

 


Ella Juliana Puspita Sari, penyair muda, lahir di Gresik, Jawa Timur, 15 Juli 1998. Ia merupakan salah satu penulis terbaik pada Lomba Cipta Puisi Media Indonesia 2022. Kini, mengajar dan mengelola sebuah komunitas baca anak-anak di Gresik. (SK-1)