PRESIDEN ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri, mengaku ingin menerjunkan sekian batalion tentara ke Papua untuk menyelesaikan konflik bersenjata antara TNI dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Merdeka (TPNPB) yang tak kunjung usai.
Dalam pidatonya, Megawati ingin mengerahkan sekian jumlah batalion untuk menciptakan efek deteren, semacam serangan balasan yang bisa mencegah serangan musuh.
“Saya lihat yang maju ke Papua ini. Saya terus bilang, emh, ck, kalau saya masih komandan, boleh toh pak ngomong, kalau saya masih komandan saya turunkan disana berapa batalion. Keren kan," ungkap Mega dalam acara peresmian Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Bung Karno-369 di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (1/6).
Baca juga: KRI Bung Karno-369 Diresmikan, Siap Perkuat Maritim Indonesia
Megawati menuturkan TPNPB merupakan ‘rakyat kita juga’ namun terprovokasi dan ’tidak diberi pengetahuan’.
“Saya kan mikir ini (jumlah TPNPB) hanya segitu. Lah, kok, dipateni (dibunuh) dal, del, dal, del, matek," ujar Presiden ke-5 RI itu.
Baca juga: Politisi Gerindra Sebut Partainya Lebih Percaya Jokowi Daripada Megawati
Mega juga mempertanyakan hingga saat ini konflik di Papua tak kunjung usai.
Megawati menuturkan bahwa pengerahan sekian jumlah batalion di Papua bisa memicu efek psikologis bagi musuh sekaligus observasi medan tempur.
Namun, Megawati mengaku saat ini tak bisa berbuat banyak lantaran tak punya wewenang untuk mengirim batalion ke Papua.
Di sisi lain, Mega juga mengenang masa ketika ia menjadi wakil presiden dan presiden saat reformasi baru seumur jagung.
Ia mengatakan geram ketika pasukan TNI banyak gugur saat pemerintahannya menggelar operasi militer di Aceh. Megawati mengeklaim dirinya cukup keras dalam hal ini, apalagi ia menemukan para prajurit tewas mengenaskan karena hanya membawa separuh senjata ketika satu batalion maju tempur.
"Apa saya tidak ngamuk sebagai presiden, lho anak buah saya pada mati. Saya suruh selidiki ke RSPAD, siapa yang meninggal, siapa yang luka berat, siapa yang luka ringan," tegasnya.
Diketahui, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyoroti kasus penyanderaan pilot Susi Air asal Selandia Baru, Kapten Philip Mark Mertens oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM). Belum ada upaya dari pemerintah Selandia Baru membebaskan warganya dari cengkeraman OPM.
“Masalahnya sampai hari ini saya tidak mendengar Selandia Baru minta ke pemerintah untuk dilibatkan. Kalau pemerintah Selandia Baru minta dilibatkan maka pemerintah tidak akan menolak. Justru kita akan memfasilitasi," kata Hikmahanto, kepada wartawan, Sabtu, (27/5).
Hikmahanto memberi contoh ketika pesawat Garuda Woyla disandera dan diturunkan di Don Muang Bangkok. Saat itu pemerintah meminta untuk melakukan operasi pembebasan ke pemerintah Thailand dan dikabulkan. (Ykb/Z-7)