Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Capres Alternatif Lahir dari Kejenuhan Publik

Yakub Pryatama Wijayaatmaja
06/9/2022 22:01
Capres Alternatif Lahir dari Kejenuhan Publik
Ilustrasi(MI/ Seno)

WACANA calon presiden alternatif untuk Pemilu 2024 semakin menyeruak. Di tengah kemandegan popularitas dan elektabilitas kandidat capres-capres populer, publik merasa jenuh dengan pilihan yang ada.

Peneliti Formappi, Lucius Karus menyebut sudah sewajarnya publik merasa jenuh lantaran dominasi capres masih dipegang oleh tiga nama besar, seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

“Belum lepas dari sini, banyak muncul figur lain, tapi sejauh ini tidak ada kenaikan signifikan dalam tingkat elektabilitas mereka menurut potret dalam survey,” papar Lucius dalam diskusi Capres Alternatif: Menuju Subtansialitas Pilpres 2024, di Cilandak, Jakarta (6/9).

“Sekian lama nama-nama itu muncul dalam hasil survey, sealma itu juga publik disuguhkan dengan informasi terkait nama-nama yang sama. Lalu, muncul semacam kejenuhan di ruang publik dengan nama-nama yang selalu sama dengan yang muncul di lembaga survei,” tambahnya.

Senada, Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultasi Publik Algoritma Aditya Perdana, menerangkan masyarakat sejatinya tak sepenuhnya yakin dengan capres yang populer kekinian.

Dari survei yang dilakukan Algoritma, Aditya mengatakan masyarakat belum yakin para bakal calon presiden Indonesia itu mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara yang saat ini tengah dihadapi.

“Di situlah kami punya keyakinan bahwa masih ada peluang bagi para capres lain yang sebenernya mau mengatasi problem yang kita hadapi, seperti polarisasi, pemberantasan korupsi, hukum, ekonomi, kalau itu semua bisa dipenuhi, curilah ruang itu,” tegasnya.

“Ada peluang di mana capres siapapun itu, meskipun waktunya relatif pendek. Ini bisa jadi perhatian publik,” tambahnya.

Intinya, kata Aditya, masih ada peluang, baik untuk tokoh-tokoh lama maupun nama yang beum terdengar untuk bisa menjadi harapan baru pemilih.

Aditya yakin publik menyadari betul kapasitas capres-capres yang namanya malang0melintang belum maksimal.

Sementara itu, Koordinator Komite Pemilih (Tepi Indonesia), Jeirry Sumampow mengemukakan bahwa masyarakat sudah mengenal calon-calon presiden yang saat ini tinggi elektabilitasnya sejak lima tahun silam.

Maka, tokoh-tokoh tersebut sama seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 silam dan tidak ada perbedaan signifikan.

“Itu tentu memperlihatkan ada kebosanan publik. Problemnya begini, media terlalu mempopulerkan nama tokoh, jadi publik ke arah sana, dan seolah-olah tak punya pilihan lain.

“Membuat figur-figur ini populer, dan populernya ini berpengaruh pada elektabilitasnya,” ujarnya.

Memang, kata Jeirry, hampir sulit untuk memwududkan nama-nama baru yang bisa bersaing dalam bursa capres 2024.

Menurutnya, figure atau nama-nama capres yang lalu-lalang sekarang paling banyak adalah kepala daerah, atau militer, atau orang partai.

“Orang-orang yang tampil sekarang memang orang-orang yang memegang jabatan publik, ada yang juga sengaja dibranding untuk maju sebagai calon presiden,” tegasnya.

Situasi seperti ini, kata Jeirry, membuat publik hanya mengingat nama-nama beken yang elektabilitasnya tinggi dalam survei.

“Kita ingin sebetulnya publik itu punya pikiran alternatif dan itu ada. Bahwa capres-capres sekarang yang sebetulnya muncul, ketika dikonfirmasi terhadap kemampuan mereka menyelesaikan persoalan nyatanya publik tidak terlalu percaya,” terang Jeirry.

“Jadi, kemampuan figure-figur untuk menyelesaikan persoalan itu patut dibuktikan,” tambahnya.

Jeirry menegaskan bahwa publik butuh nama-nama baru, yang selama ini tak muncul namun sejatinya punya kualitas untuk jadi pemimpin bangsa dan negara. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya