Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
KINERJA Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024 pada masa sidang V menuai catatan terutama fungsi legislasi. Meskipun dinilai cukup produktif, tapi undang-undang yang disahkan bukan prioritas. Laporan evaluasi kinerja DPR yang dirilis Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menunjukkan ada 11 rancangan undang-undang (RUU) yang berhasil disahkan pada masa sidang V.
"Sayangnya dari 11 RUU yang disahkan tersebut, hanya 3 RUU yang berasal dari daftar RUU Prioritas 2022," ujar Peneliti Formappu Lucius Karus, Sabtu (13/8).
Delapan RUU lainnya, ujar Lucius, merupakan RUU Kumulatif Terbuka yang semuanya terkait undang-undang provinsi (5 RUU) dan daerah otonomi baru (DOB) di Papua sebanyak 3 RUU. Dengan demikian, menurutnya produktivitas legislasi DPR biasa saja.
Lucius menyampaikan tambahan RUU yang disahkan dari klaster daftar kumulatif terbuka bisa mengesankan untuk menutup kinerja rendah DPR.
Selain itu, Formappi juga memberikan catatan mengenai produktivitas DPR dalam membahas RUU. "DPR masih suka memperpanjang proses pembahasan RUU. Tercatat ada 3 RUU yang pembahasannya diputuskan untuk diperpanjang," ucap Lucius.
Tiga RUU itu yakni RUU Hukum Perdata, RUU Narkotika, dan RUU Landas Kontinen. Ada pula pembahasan RUU yang dihentikan yaitu RUU Penanggulangan Bencana. Padahal, ujar Lucius, tuntutan penguatan regulasi kebencanaan hal yang mendesak mengingat Indonesia merupakan negara dengan kerawanan bencana.
"Jika ditambah dengan ancaman bencana nonalam seperti pandemi Covid-19 yang masih berlangsung, ancaman bencana tentu nyata," cetusnya.
Di samping itu, ia menambahkan pengesahan Undang-Undang No.13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sulit diapresiasi karena prosesnya dianggap tidak partisipatif. Pengesahan UU itu dinilai agar UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang dibuat menggunakan metode Omnibus Law, konstitusional.
Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena dibuat dengan metode Omnibus Law. Mahkamah memerintahkan DPR serta pemerintah memperbaikinya dalam waktu dua tahun. Namun, pemerintah dan DPR, sambung Lucius, justru memutuskan merevisi UU PPP untuk mengakomodir metode Omnibus Law.
"DPR dan pemerintah meninggalkan semua kontroversi (UU Cipta Kerja) dengan mengesahkan Revisi UU PPP pada pekan pertama masa sidang V. Pembahasannya minum dan kilat, jelas revisi UU PPP sekedar mengantisipasi revisi UU Cipta Kerja yang terancam dibatalkan karena putusan MK," papar Lucius.
Pada masa sidang V, terdapat 3 RUU Prioritas yang berhasil disahkan. Selama periode 2022, total ada 12 RUU yang disahkan dari total 40 RUU yang masuk dalam daftar tersebut.
"Dari 12 RUU tersebut sesungguhnya hanya 6 RUU yang benar-benar disahkan pada 2022, sedangkan 6 RUU lain sudah disahkan akhir 2021," tukas Lucius. (OL-4)
UU TNI tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.
Legislasi harusnya menjadi proses yang harus dijalankan oleh DPR dan pemerintah secara cermat dan hati-hati dan bukan administratif dan kegiatan rutin yang dilakukan para pembentuk UU belaka.
Isnur meminta pemerintah dan DPR segera membuka dan menyampaikan DIM revisi KUHAP tersebut sebagai bentuk transparansi kepada masyarakat.
Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang kerap membatalkan undang-undang hasil pembahasan panjang DPR lewat sidang pengujian.
Megawati memperingatkan agar revisi UU Pemilu tidak boleh dilakukan hanya untuk mengubah substansi demokrasi.
Pekerja migran Indonesia adalah wajah negara di luar negeri. Sehingga, ia menilai pekerja migran tersebut harus memiliki kompetensi serta jasmani dan rohani yang sehat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved