Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Hukuman Mati Koruptor Jangan Jadi Jargon Politik

Mediaindonesia
05/11/2021 12:18
Hukuman Mati Koruptor Jangan Jadi Jargon Politik
Ilustrasi(Antara)

PENELITI Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, merespons hukuman mati koruptor yang diwacanakan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Menurut dia, hal tersebut hanya jargon politik

"Pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik. Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Jumat (5/11).

Kurnia mempertanyakan hukuman mati koruptor bisa efektif memberi efek jera koruptor dan menekan angka korupsi. Sementara itu, kata dia, kualitas penegakan hukum belum menggambarkan efek ideal memberi efek jera.

"Khusus untuk Kejaksaan Agung, masyarakat tentu masih ingat bagaimana buruknya kualitas penegakan hukum di ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya seperti Pinangki Sirna Malasari," kata Kurnia.

Senada, pakar hukum dari Universitas Pelita Harapan, Rizky Karo Karo mengkritik wacana hukuman mati koruptor Jaksa Agung. Menurut dia, hukuman itu telah diatur Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan syarat tertentu. "Dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku," kata Rizky.

Menurut dia, wacana hukuman mati koruptor terlalu umum, padahal regulasi yang mengatur pidana tersebut memberi syarat khusus. Sehingga, tak semua tindak pidana korupsi bisa berujung hukuman mati.

Rizky mengatakan syarat hukuman mati di UU Tipikor harus ditelaah jaksa penuntut umum (JPU). Penelitian mesti melihat hubungan sebab akibat dan layak tidaknya hukuman mati.

"Jadi, kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam melakukan penuntutan harus dilakukan sesuai prosedur hukum disertai bukti yang cukup (due process of law)," kata dia.

Rizky menyebut wacana itu tak tepat sasaran. Sebab, tugas dan fungsi Kejaksaan dalam melakukan penegakan hukum secara tepat yang paling dinanti masyarakat. Utamanya, dalam mengembalikan keuangan negara.

Dia mengkritik keinginan Jaksa Agung menerapkan hukuman mati di kasus korupsi Jiwasraya dan ASABRI. Menurut Rizky, prioritas utama yakni melindungi korban, menuntut terdakwa, dan mengembalikan kerugian negara, sehingga perlu kajian mendalam terkait hukuman mati.

"Walaupun pidana mati masuk ke dalam dakwaan dengan model dakwaan tertentu (tunggal, alternatif, kumulatif, subsidiair, kombinasi) suatu perkara, namun Majelis Hakim pemeriksa perkara yang akan menjatuhkan vonis, apakah memang pantas divonis dengan pidana mati atau tidak," pungkasnya. 

Adapun Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI Sandrayati Moniaga menilai bahwa Indonesia sudah seharusnya menghapus secara total pemberian hukuman mati terhadap terpidana, karena dinilai tidak konstitusional. Sandrayati menjelaskan, dalam UUD 1945 jelas dikatakan bahwa hak hidup merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun.

Pasal 28 huruf a UUD 1945 menyatakan setiap warga memiliki hak mempertahankan hidup dan kehidupannya, kemudian pada huruf g disebutkan setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan.

Resolusi Komisi HAM PBB telah meminta adanya penghapusan hukuman mati. Lalu, negara yang masih menerapkan hukuman mati harus membuka moratorium. "Seharusnya kita menghapuskan hukuman mati secara total. Karena kita adalah anggota PBB, dan Indonesia menjadi anggota dewan HAM," kata Sandrayati. (Ant/OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya