Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
POLITISASI agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangi kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya. Praktik itu merupakan bentuk relasi agama dan politik yang terburuk.
Demikian dikemukakan Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia TGB Muhammad Zainul Majdi.
"Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati," paparnya saat webinar bertajuk Gaduh Politisasi Agama, Kamis (19/11).
TGB memaknai politisasi agama merupakan pemanfaatan agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik, atau agama jadi instrumen untuk mendapatkan hasil politik.
Meski begitu, kata Ketua Umum Dewan Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Wathan (PBNW) itu, politisasi agama juga bisa baik apabila nilai-nilai mulia agama menjadi prinsip dalam berpolitik, sebagaimana yang dilakukan para pendiri bangsa ini.
"Maka, politik menjadi hidup dan bagus karena ada nilai agama," kata mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat itu.
Melihat kejadian akhir-akhir ini, TGB menilai ada kelompok tertentu memolitisasi agama dengan tujuan politik, murni untuk mencapai kekuasaan.
"Kita perlu literasi, perlu penegasan bahwa politik bagian dari muamalah, politik bukan akidah," tegas TGB.
Intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU) Muhammad Cholil Nafis mengatakan apa yang terjadi akhir-akhir ini bukan karena kegagalan NU ataupun Muhammadiyah dalam membimbing umat, melainkan lebih pada kegagalan isu liberal.
"Liberal ini melahirkan radikalisme. Yang kita hadapi ini buah dari proses liberalisasi. Jadi, jangan sampai kita menepi menjadi radikalisme. Bagaimana memasyarakatkan moderasi Islam agar orang tidak menepi ke kanan dan ke kiri," ujar Cholil.
Adapun munculnya konservatisme dan militansi, disebut Direktur Moya Institute Hery Sucipto, juga akibat pembiaran terhadap kelompok intoleran yang dibungkus dakwah provokatif. Padahal, dakwah semestinya santun serta tidak mencaci dan melukai pihak lain. (Ant/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved