Waspadai Potensi Serangan Keamanan Digital di Masa Pandemi

Gan/S2-25
27/7/2020 05:17
Waspadai Potensi Serangan Keamanan Digital di Masa Pandemi
Ilustrasi(Grafis Medcom.id)

SEJAK pemerintah memutuskan untuk menetapkan status pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di masa pandemi covid-19, mayoritas kegiatan masyarakat dilakukan dari rumah. Bahkan, hal itu terus berlanjut hingga masa adaptasi kebiasaan baru atau new normal.

Mulai dari kegiatan belajar, bekerja, hingga berbelanja masih banyak dilakukan dari jarak jauh mengandalkan aktivitas digital. Karena itu, ancaman kejahatan siber (cyber crime) mengintai masyarakat di tengah pandemi covid-19 yang belum berakhir ini.

Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi, mengatakan, adanya potensi serangan keamanan di tengah pandemi covid-19 dibedakan menjadi dua, yakni ancaman teknis dan arus informasi.

“Dua-duanya punya definisi berbeda dan perlu diketahui,” ungkap Dedy kepada Media Indonesia, kemarin. Ia menjelaskan, ancaman teknis serangan keamanan bisa saja berupa serangan siber. Serangan ini paling banyak jenisnya dan paling sering menyerang sistem pemerintahan.

“Contohnya, ini hanya contoh, sistem website resmi ter- kait info korona mengalami down karena diserang oleh serangan keamanan jenis ini,” kata Dedy.

Untuk ancaman keamanan siber terkait arus informasi, lanjut Dedy, biasanya berupa information disorder. Di masa covid-19 seperti sekarang, biasanya gangguan keamanan jenis ini amat berbahaya karena bisa memengaruhi persepsi serta pola pikir masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari di masa pandemi.

“Information disorder ini menyebarkan ketidakbenaran atau informasi yang tidak seharusnya disebarluaskan,” kata dia.

Sedikitnya, kata dia, ada tiga jenis informasi yang beredar di kalangan masyarakat. Pertama misinformasi yakni informasi yang tidak benar tetapi dilakukan dengan tidak sengaja. Kedua, disinformasi atau penyebaran berita yang tidak benar dan dilakukan dengan sengaja. Hoaks merupakan tipe informasi ini.

Tipe informasi yang ketiga ialah malinformasi yakni berita atau data yang disebarluaskan tidak semestinya. Seperti perundungan siber, hate speech, dan likes. Biasanya data likes ialah yang paling sering menyebar di masyarakat, contohnya penyebaran data diri pasien covid-19.

“Maka dari itu tiap kasus positif diumumkan dengan memakai kode, bukan identitas diri pasien. Hal ini untuk menghindari tersebarnya malinformasi,” kata dia.

Untuk jalur up stream atau hulu, biasanya pemerintah banyak melakukan literasi digital pada masyarakat. Karena semakin tinggi literasi digital masyarakat, sebanyak apa pun hoaks yang beredar, masyarakat tidak akan terpengaruh dan tidak akan percaya hoaks tersebut.

Di jalur middle stream, kata dia, pemerintah melakukan pengendalian konten. Sehingga jika ada information disorder di sebuah platform digital cyber drone dari Kominfo akan menindaklanjuti konten negatif tersebut.

Sedangkan di jalur down stream atau hilir, pemerintah melakukan kerja sama dengan penegak hukum, dalam hal ini Bareskrim Polri, untuk mendisiplinkan pelanggar kejahatan siber ini.

Pakar Keamanan Siber, Ruby Alamsyah, mengatakan, untuk mewaspadai kejahatan atau penipuan lintas dunia siber, pengguna harus tetap sadar saat berselancar di dunia maya. Think before click ini penting diterapkan, apalagi saat bertransaksi secara digital.

Ia menjelaskan, pelaku social engineering kebanyakan memakai teknik penipuan yang segera mendapatkan kepercayaan korban dengan
segera. Caranya bisa menakuti, membuat panik, dan memberikan info dengan cepat.

Menurut Ruby, hal ini yang perlu disebarluaskan. Social engineering bukanlah teknik teknologi tinggi. Ini merupakan modus penipuan dengan permainan psikologis korban. Sehingga, bagi sebagian orang yang belum terbiasa dengan dunia digital bisa jadi korban. (Gan/S2-25)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya