Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
KETUA Mahkamah Agung 2001-2008 Bagir Manan menilai pengesahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru di DPR cacat hukum.
Sebab persetujuan pengesahan tidak memenuhi kuorum 50+1. Hal tersebut disampaikan Bagir sebagai penggungat ahli dalam sidang uji formil UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta PUsat, Rabu, 24 Juni 2020. Selain Bagir, ada penggugat ahli kedua yakni Akademisi dari Universitas Brawijaya Aan Eko Widianto.
"Seandainya hal ini terbukti benar pengesahan UU KPK baru itu menjadi bukan sekadar cacat hukum tapi tidak sah. Karena itu batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ujar Bagir dalam sidang uji formil UU KPK di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (24/6).
Selain itu, lanjut dia, anggota DPR yang sudah hampir berakhir masa jabatannya dinilai tidak memenuhi azas keterwakilan dalam pengesahan UU KPK. Sebab hampir 48 persen anggota DPR yang menyetujui UU KPK baru tidak lagi menjadi anggota DPR periode berikutnya.
"Apakah azas keterwakilan masih terpenuhi untuk menyetujui suatu rancangan UU? Sedangkan telah diketahui susunan anggota DPR berikutnya dan hampir separuh anggota DPR yang menyetujui tidak akan lagi menduduki jabatan tersebut," kata pengugat ahli terkait sidang uji formil UU KPK tersebut.
Hakim Mahkamah Agung, Saldi Isra merespon pernyataan tersebut dengan mempertanyakan dua fakta. Pertama tanda tangan kehadiran dalam rapat paripurna pengesahan UU KPK baru melebih 50 persen atau kuorum.
Namun fakta kedua, secara fisik anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna itu kurang dari 50 persen. Dia meminta penggugat ahli menjelaskan dua fakta tersebut dalam konsep penyelenggaraan tata pemerintahan terutama proses pembentukan UU.
Pertanyaan tersebut direspon oleh penggugat ahli kedua Aan Eko Widianto. Menurutnya, ada tiga esensi mengapa kehadiran fisik itu harus ada dalam pengambilan keputusan di DPR.
Baca juga : Komisi III Minta Polri dan Kemenkumham Efektif Gunakan Angggaran
"Pertama, ini kan lembaga perwakilan, lembaga perwakilan harus menyampaikan aspirasi yang diwakili. Sehingga bentuk konkret perwakilan masyarakat yang diwakili oleh wakil-wakil rakyat ini harus hadir di dalam gedung tersebut," terang Eko.
Kedua, anggota DPR yang tidak hadir dalam penyusunan RUU KPK dapat diberi penjelasan singkat oleh anggota-anggota DPR lainnya. Sehingga saat pengesahan UU maka kehadiran anggota menjadi penting.
Terakhir, kehadiran fisik untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya voting. Voting hanya dapat diikuti oleh anggota dalam ruang paripurna.
"Padahal jumlah anggotanya kurang, tidak sesuai dengan daftar hadir. Bagaimana bisa berjalan votingnya? Sehingga ini lah urgensinya mengapa (dalam rapat paripurna) anggota harus hadir secara fisik," tutur Eko.
Sementara itu, Bagir menambahkan tidak ada dalam ketentuan tata tertib DPR bahwa kehadiran cukup dengan tanda tangan. Anggota DPR harus secara fisik berada di dalam ruang paripurna untuk secara sah mengesahkan UU KPK baru.
"Sebab bagaimana orang tidak hadir bisa memutus setuju atau tidak, itu tidak bisa terjadi. Di seluruh dunia seperti itu," tandas Bagir. (OL-2)
Pria yang kerap disapa Eddy itu juga menepis anggapan bahwa klausul tersebut tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.
Pemerintah dan DPR seharusnya melibatkan peran aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam merumuskan RUU KUHAP
Budi mengatakan, lahan sawit itu masih beroperasi selama enam bulan pascadisita KPK. Total, Rp3 miliar keuntungan didapat dari kegiatan sawit di sana, dan kini disita penydiik.
Pencegahan kepada saksi dilakukan agar mudah dipanggil, saat keterangannya dibutuhkan penyidik.
KPK berharap mereka berdua memenuhi panggilan penyidik.
Dua saksi itu yakni Notaris dan PPAT Musa Daulae, dan pengelola kebun sawit Maskur Halomoan Daulay.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved