Pelepasan 30.000 Napi Oleh Kemenkumham Dinilai Belum Cukup

Cahya Mulyana
31/3/2020 16:30
Pelepasan 30.000 Napi Oleh Kemenkumham Dinilai Belum Cukup
Pencegahan penyebaran covid-19 di Lapas(ANTARA FOTO/Fauzan)

MENTERI Hukum dan HAM memutuskan untuk mendorong program asimilasi dan integrasi sebagai upaya untuk mengeluarkan Narapidana dan Anak dari Rutan/Lapas. Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) mengapresiasi langkah tersebut, namun hal ini belum cukup.

"Langkah ini belum dapat secara siginifikan mengurangi jumlah penghuni Rutan/Lapas. Presiden harus turun tangan responsif memberikan grasi dan amnesti masal pada pengguna narkotika dalam Lapas dan menyuarakan penghentian penahanan pada penyidik dan penuntut umum untuk mencegah penyebaran Covid-19 Rutan/Lapas," ujar Direktur Eksekutif ICJR Erasmus A. T. Napitupulu dalam keterangannya, Senin (31/3).

Sebeumnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mendorong program simulasi dan integrasi 30 ribu narapidana dewasa dan anak-anak. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19, pada 30 Maret 2020.

Baca juga: Bantu Lawan Covid-19, AS Kucurkan USD 2,3 Juta untuk Indonesia

Menurut Erasmus, apabila pemerintah serius mencegah SARS-CoV-2, semestinya tidak hanya Kemenkumham saja, tetapi Presiden Joko Widodo harus melakukan tindakan lain yang signifikan. Ia menyarankan, pemerintah dapat mengupayakan pemberian grasi dan amnesti masal di samping percepatan pemberian pembebasan bersyarat.

Jika itu dilakukan, yang bisa diprioritaskan mendapatkan grasi dan amnesti adalah napi lansia di atas 65 tahun, napi menderita penyakit komplikasi, perempuan hamil atau membawa anak, pelaku tindak pidana ringan di bawah hukuman dua tahun, pelaku tindak pidana tanpa korban, pelaku tindak pidana tanpa kekerasan dan napi pengguna narkotika.

Terkait kasus narkotika, ICJR memberikan gambaran secara spesifik karena penghuni lapas dengan kasus tersebut ada 132.452 orang per Februari 2020. Dari jumlah itu, 45.674 napi berstatus pengguna yang perlu diprioritaskan untuk dikeluarkan. Selain itu, yang bisa lepaskan adalah mereka yang dijerat dengan pasal kepemilikan narkotika dalam jumlah kecil dan tidak berasal dari sindikat.

"Pengurangan jumlah penghuni sebanyak 30.000 hanya akan mengurangi sekitar 11% penghuni rutan dan lapas. Masih akan ada sekitar 240.000 penghuni rutan dan lapas, sedangkan kapasitas rutan/lapas hanya bisa menampung 130.000 penghuni," jelas dia.

Meski begitu, pelepasan pada kelompok tersebut bergantung pada risk assessment yang telah dilakukan Kemenkumham. Dengan adanya aturan Revitalisasi Pemasyarakatan, kementerian tersebut sudah memiliki daftar napi dalam resiko rendah dan sedang. Dengan demikian, napi yang masuk ke kategori itu harus dipertimbangkan untuk pemberian grasi atau amnesti.

Sementara untuk 65.000 tahanan, ICJR meminta Presiden Jokowi menyerukan jajarannya dan penuntut umum untuk mengalihkan penahanan dengan mekanisme lain, seperti tahanan rumah atau kota.

"Pada kondisi ini, peran Presiden Joko Widodo diperlukan untuk menangani masalah ini, tidak hanya dari Kementerian Hukum dan HAM. Jumlah orang dalam Rutan dan Lapas harus segera dikurangi," pungkasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya