Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Manajemen Pemilu Harus Diperbaiki

Emir Chairullah
03/2/2020 09:00
Manajemen Pemilu Harus Diperbaiki
Peneliti LIPI Moch. Nurhasim (kanan) didampingi peneliti Perludem Heroik Pratama (tengah) dan Direktur Perludem Titi Anggraini.(MI/Susanto)

PERKUMPULAN untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan sejumlah hasil penelitian mereka terkait dengan masalah manajemen pelaksanaan pemilu yang mendesak diperbaiki. Tidak efektifnya manajemen penyelenggaraan membuat pemilu di Indonesia bersifat unmanagable secara sistemik.

"Karena itu, Perludem mengusulkan agar revisi UU Pemilu harus memperbaiki desain penyelenggaraan pemilu dengan membaginya menjadi pemilu serentak nasional (pilpres, DPR, dan DPD) dan pemilu serentak lokal (pilkada bersama dengan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota)," kata peneliti Perludem, Heroik Mutaqien, di Jakarta, kemarin.

Pelaksanaan Pemilu 2019 yang menggabungkan pemilu nasional dan lokal, kata Heroik, menyebabkan pecahnya konsentrasi kepentingan nasional dan lokal. "Akibatnya kepentingan masyarakat menjadi terabaikan karena kurang perhatian dengan calon di level lokal."

Faktor lain yang jadi masalah khususnya pilpres ialah ambang batas pencalonan presiden berdasarkan kepemilikan kursi atau suara dari pemilu sebelumnya. "Akibatnya terjadi polarisasi massa yang banyak memunculkan fenomena hoaks, fake news, bahkan kriminalisasi," ujarnya.

Perludem menawarkan desain pemilu serentak nasional menyatukan pemilihan presiden (pilpres) dengan pemilu DPR dan DPD. Lalu, selang dua tahun, digelar pemilu serentak lokal yang terdiri atas pemilihan gubernur (pilgub), pemilu DPRD provinsi, dan pemilu bupati/wali kota bersama pe-milu DPRD kabupaten/kota.

"Pemilih akan dengan mudah menentukan pilihan karena di pemilu nasional, pemilih terima tiga surat suara. Begitu pula dengan pemilu lokal, pemilih hanya terima empat surat suara. Pemilih akan lebih fokus," ujar Heroik.

Dalam acara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menambahkan, pelaksanaan Pemilu 2019 setidaknya tidak memenuhi syarat adanya pemilu yang adil bagi masyarakat. Menurut Titi, banyaknya surat suara yang harus dicoblos menyebabkan masyarakat kesulitan menentukan pilihan.

"Tak kalah parahnya ternyata hasilnya tidak cepat diumumkan. Akibatnya banyak spekulasi dan teori konspirasi yang muncul di masyarakat," paparnya.

 

Petugas KPU

Kegagalan lainnya, kata pengamat politik LIPI Moch Nurhasim, ialah banyaknya petugas lapangan yang meninggal seusai pencoblosan suara. Baginya, logika yang menyebutkan hanya 0,008% yang meninggal ialah cara pandang Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menangkap kegagalan Pemilu 2019.

"Padahal hal itu menunjukkan tidak adanya skema emergency dalam penyelenggaraan pemilu. Apalagi ternyata tidak ada asuransi bagi korban," jelasnya.

Tidak hanya itu, peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin juga menilai petugas tempat pemungutan suara selama pemilu tidak optimal. "KPU tidak banyak melibatkan warga muda dengan bimbingan teknis (penyelenggaraan pemilu) yang cukup," ucap Usep.

MI/Susanto

Peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin menyampaikan pemaparan dalam diskusi evaluasi sistem pemilu 2019 di Jakarta, Minggu (2/2/2020).

 

Kurangnya petugas itu, kata Usep, karena larangan dua kali menjadi Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), honor yang sedikit, dan beban yang berat membuat sedikit warga mendaftar menjadi KPPS. Bimbingan teknis juga dirasa kurang maksimal karena banyaknya jumlah KPPS yang mesti dilatih.

Penerapan teknologi pemilu seperti Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) dan Sistem Informasi Perhitungan (Situng) juga dilakukan manual. Hal ini dapat menurunkan kualitas, transparansi, dan akuntabilitas pemilu Indonesia. (medcom/P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya