Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
ANGGOTA DPD RI asal Papua, Filep Wamafma, menyesalkan kekerasan yang terus terjadi di Nduga, Papua. Hal itu menurutnya menjadi salah satu pemicu mundurnya Wakil Bupati Nduga, Wentius Nimiangge.
Filep mengatakan, peristiwa Nduga masih berbuntut panjang dan perlu penanganan secara holistik. Pemerintah dinilai masih terlalu sibuk dan fokus pada isu radikalisme dan intoleransi yang ada di luar Papua.
"Wentius mundur karena tak sanggup melihat berbagai kekerasan dan pembunuhan yang menimpa warga sipil, termasuk jenasah ajudannya. Semakin banyak korban sipil, semakin menunjukkan bahwa Nduga membutuhkan penanganan yang holistik, segera, dan urgent," ujar Filep, di gedung DPD, Jakarta, Jumat, (27/12).
Respon pemerintah dinilai Filep sangat lambat dalam menangani berbagai kasus yang telah terjadi di Nduga. Salah satunya konflik senjata yang tak pernah usai. Hal itu membuat warga Nduga terus hidup dalam ketakutan.
"Bagaimana mungkin bermimpi tentang kemajuan pembangunan, saat kebutuhan akan rasa aman tidak dapat diperoleh," ujar Filep.
Lebih jauh Filep menyatakan, Pansus Papua selalu menyerukan agar TNI dan OPM menahan diri, agar tidak menimbulkan konflik-konflik bersenjata yang hanya menimbulkan penderitaan baru.
"Mau sampai kapan, Indonesia? Gencatan senjata harus segera ditetapkan!" ujarnya.
Dalam skala yang lebih luas, dirinya melihat masih masifnya gerakan TNI di Nduga. Ia mendesak agar diberikan kejelasan mengenai status keamanan di Nduga, apakah masuk kategori Daerah Operasi Militer, Daerah Darurat Sipil, atau Daerah Darurat Militer.
Kategorisasi tersebut akan menjelaskan secara transparan tentang semua kebijakan keamanan yang diambil pemerintah. Pemikiran Pansus Papua ini tidak lain dan tidak bukan didasari oleh keprihatinan akan hilangnya hak-hak asasi masyarakat sipil, oleh karena egoisme pihak-pihak yang berkonflik. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved