Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Pendanaan Alutsista Jadi Alasan

Rudy Polycarpus
21/4/2015 00:00
Pendanaan Alutsista Jadi Alasan
(ANTARA/Rosa Panggabean)
TERBAKARNYA pesawat tempur F-16 saat persiapan lepas landas di Pangkalan TNI-AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (16/4) lalu, dianggap sebagai akibat dari persoalan klasik.

Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Jundan Eko Bintoro mengatakan keinginan membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) baru masih terbentur persoalan pendanaan.

"Harga satu pesawat baru F-16 setara dengan lima pesawat bekas. Karena selisihnya jauh sekali dan anggaran kita belum mencukupi, pemerintah selama ini lebih memilih opsi membeli pesawat bekas," ujarnya kepada Media Indonesia, kemarin.

Pemerintah menandatangani perjanjian pada 2012 untuk mendatangkan 24 unit F-16 bekas hibah dari Amerika Serikat. Hingga September 2014, baru datang lima unit, sisanya dikirim bertahap hingga 2016. Namun, pemerintah harus merogoh kocek sekitar US$700 juta untuk biaya perbaikan, upgrade, dan refurbish (rekondisi) keseluruhan pesawat. "Sehingga kemampuan F-16 meningkat," ujar Jundan.

Indonesia juga akan mendatangkan sembilan pesawat Hercules dari Australia. Menurut Jundan, sulit untuk membatalkan perjanjian hibah. "Dana yang sudah dikeluarkan tidak dapat dikembalikan lagi," terangnya.

Harus dibatalkan
Namun, pernyataan Jundan dibantah pengamat pertahanan dan keamanan Universitas Padjadjaran Muradi. Ia mengatakan perjanjian hibah bisa saja dibatalkan jika ada peristiwa luar bisa.

"Meski memang tidak mudah karena bisa di-blacklist. Tetapi, pemain alutsista kan itu-itu saja," ujarnya saat dihubungi, kemarin.

Muradi berpendapat, ketergantungan akan alutsista bekas sebaiknya dikurangi karena efek deteran yang diciptakan bersifat semu dan mengabaikan kualitas. Menurutnya, pengetahuan tentang rekam jejak pesawat merupakan hal penting.

Jika pesawat yang dibeli masih baru, rekam jejak dan penggunaannya dapat didata. Berbeda dengan pesawat bekas yang masih samar rekam jejaknya. "Selain itu, biaya perawatan dan penggantian komponen pun jauh lebih mahal ketimbang membeli yang anyar," terangnya.

Situasi tersebut dapat dipahami karena pesawat bekas pakai memiliki keterbatasan dalam penyesuaian geografis dan kondisi cuaca di negara asal meski telah direkondisi.

"Kondisi pesawat bekas pakai dengan kondisi cuaca dan geografis yang berbeda setelah puluhan tahun digunakan di negara asal," cetusnya.

Meski terkendala dana, Muradi berpendapat pemerintah memiliki anggaran yang cukup. Pasalnya, Presiden Joko Widodo sudah menganggaran dana sebesar 1,5% dari GDP atau hingga Rp100 triliun per tahun.

Pada 2017, ketika perjanjian hibah berakhir, ia berharap Indonesia lebih memilih membeli alutsista terbaru dan termutakhir. "TNI harus punya alat baru. Anggaran cukup. Lebih baik beli lima pesawat baru ketimbang 10 tapi tidak terjamin. Biaya perawatannya pun lebih mahal," pungkasnya. (P-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Admin
Berita Lainnya