Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Tidak Ada Perppu tanpa UU

Putra Ananda
11/10/2019 08:40
Tidak Ada Perppu tanpa UU
Anggota Fraksi PKS DPR, Nasir Djamil.(MI/PIUS ERLANGGA)

DORONGAN penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang KPK dinilai tidak sesuai dengan konstitusi dan sistem ketatanegaraan Indonesia. Praktisi hukum Alamsyah Hanafiah menjelaskan Presiden tidak bisa menerbitkan perppu sebelum RUU tentang revisi UU KPK resmi berlaku sebagai hukum positif.

"RUU yang sudah disetujui oleh DPR itu harus diundangkan dahulu dalam daftar lembaran negara baru bisa dibuat perppu," ujar Alamsyah saat dihubungi, kemarin.

Alamsyah berharap Presiden cermat sebelum menerbitkan perppu. Perlu pertimbangan matang dengan melibatkan banyak pihak, termasuk dari kalangan akademisi. Jangan sampai perppu diterbitkan hanya karena desakan dari beberapa pihak yang tidak sepakat terhadap revisi UU KPK.

"Harus terbuka supaya masyarakat bisa menyampaikan pendapat. Pembuatannya (perppu) harus melibatkan akademisi dan praktisi hukum," tegasnya.

Dia juga mengkritik langkah pihak-pihak yang melakukan judicial review RUU KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah itu dinilai prematur karena pada dasarnya UU KPK hasil revisi belum pernah berlaku karena belum diundangkan oleh Presiden.

"Syarat untuk judicial review juga harus diundangkan dulu karena RUU bukan objek judicial review. Yang bisa diuji ke MK ialah undang-undang bukan RUU," pungkasnya.

 

Hak prerogatif

Anggota Fraksi PKS DPR, Nasir Djamil, menilai penerbitan Perppu KPK sepenuhnya merupakan hak prerogatif presiden. Untuk itu, tidak perlu lagi ada pihak-pihak yang memaksa Presiden menerbitkan perppu. Ia mendorong pihak yang tidak menyetujui revisi UU KPK agar menempuh jalur konstitusi.

"Menurut saya, sambil menunggu RUU itu diundangkan, lalu kemudian dipraktikkan dan dievaluasi dalam waktu tertentu, pihak-pihak yang tidak sejalan dengan norma-norma itu melakukan uji materi," kata Nasir.

Sembari berjalannnya waktu, Nasir menyebut pihak yang tidak sepakat bisa mengajukan permohonan uji materi (judicial review) ke MK. Ketimbang perppu, dia menilai langkah itu lebih tepat untuk dilakukan.

"Oleh karena itu, sebagai negara hukum yang demokratis, sudah selayaknya dan sepatutnya kekuatan argumentasi kita arahkan ke MK," kata mantan anggota Komisi III DPR itu.

Lebih jauh, Nasir berpandangan Presiden mesti menjelaskan secara ilmiah soal revisi UU KPK kepada publik. Apalagi, di tengah desakan penerbitan perppu. "Kita khawatir akhirnya kita punya MK, tapi kemudian kita tidak manfaatkan. Kita tidak menyalurkan kekuatan kita ke situ. Seharusnya memang kalangan akademisi atau sivitas akademik mengerahkan kekuatan akal pikiran ke MK," tandasnya.

Nasir menyayangkan anggapan beberapa pihak yang menyebut perppu merupakan jalan pintas dan jalur melalui MK tidak efektif karena cenderung memakan waktu lama.

"Kalau mau menguji UU, ya ke MK. Jangan berpikir kok lama sekali, butuh waktu. Selama ini teman-teman yang mengatakan itu lama ketika mengadukan atau melakukan uji materi juga lama. Makanya ada beberapa aktivis mengatakan itu lama," pungkas Nasir.

Dia mengatakan lama atau cepat mestinya tidak menjadi alasan karena yang lebih penting ialah kualitas perundangan yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. "Dengan kata lain, yang penting kualitas UU yang dihasilkan." (P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik