Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
BARISAN Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) menyatakan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa, 17 September 2019, adalah upaya untuk menguatkan KPK.
"Kami melihat dari beberapa pasal revisi. Ini bertujuan untuk menguatkan KPK dan menguatkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," kata Ketua Umum Bara JP Viktor S Sirait kepada wartawan, Kamis (19/9).
Dia menyebut salah satu contoh adalah kehadiran Dewan Pengawas yang diperlukan agar ada kontrol dalam setiap keputusan yang dilakukan oleh KPK.
Baca juga: Mahkamah Agung Lantik Dirjen dan Ketua Pangadilan Tingkat Banding
"Sebuah lembaga negara perlu Dewan Pengawas agar keputusan bisa dilakukan secara terukur, hati-hati, menghindari adanya abuse of power, dan mempunyai pertanggungjawaban," katanya.
Menurutnya, kehadiran Dewan Pengawas ini justru akan lebih menguatkan KPK karena akan membuka ruang lebih luas terutama kepada akademisi, pemerhati masalah korupsi atau NGO, atau tokoh masyarakat, untuk berpartisipasi masuk secara langsung dalam tubuh KPK.
"Karena itu Bara JP mendorong kalangan yang selama ini khawatir bahwa KPK akan semakin lemah dengan revisi UU KPK ini untuk justru terlibat aktif dengan menjadi bagian dari unsur Dewan Pengawas," ucapnya.
Bara JP juga sepakat bahwa penyadapan harus dapat dikontrol agar tidak dilakukan secara semena-mena dan tidak melanggar hak asasi manusia.
"Tahun 2014, ketika proses politik pencalonan wapres, ketua KPK saat itu disinyalir menggunakan kuasa penyadapan ini, di mana AS mengetahui bahwa dirinya tidak dipilih sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Pak Jokowi dari hasil penyadapan. Jika ini benar terjadi, ini adalah penyalahgunaan yang sangat fatal dan harus dihindari tidak boleh terjadi ke depan, yaitu dengan kontrol melalui Dewan Pengawas," ujarnya.
Baca juga: Jadi Pimpinan KPK, MA Kaji Status Hakim Tinggi Nawawi Pomolango
Mengenai penerbitan SP3, Bara JP melihat bahwa SP3 ini mutlak diperlukan untuk memberikan kepastian hukum. "Indonesia adalah sebuah negara hukum sehingga dalam pelaksanaannya tentu harus ada kepastian hukum," ujarnya.
Menurutnya, kekhawatiran sebagian kalangan bahwa penerbitan SP 3 ini kelak akan memperlemah KPK karena ruang gerak KPK akan menjadi terbatas, karena revisi UU KPK memberi kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan (SP3) suatu kasus dugaan korupsi jika tak tuntas dalam 2 tahun, adalah argumentasi yang terlalu sumir.
Ia mengatakan adanya pasal penerbitan SP3 ini justru akan membuat KPK akan semakin hati-hati dalam menentukan sesesorang bersalah atau menjadi tersangka. Menurutnya kehati-hatian ini menjadi sangat penting untuk kepastian hukum dan menjaga hak asasi manusia.
"Bukankah dalam hukum ada adagium lebih baik melepas 100 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tak bersalah?” katanya.
Dia juga mengatakan penerbitan SP3 ini juga akan tetap menjaga muruwah lembaga KPK sebagai lembaga yang tetap mendapat kepercayaan masyarakat.
Baca juga: MA Dukung Adanya Pasal Contempt of Court di RKUHP
"Bukti menunjukkan bahwa KPK kalah dalam praperadilan melawan Budi Gunawan dan Hadi Purnomo yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu, sampai saat ini, RJ Lino sudah 4 tahun ditetapkan sebagai tersangka, lalu prosesnya sampai selama itu untuk membawa RJ Lino sampai ke meja pengadilan? Kalau belum mampu mengumpulkan alat bukti membawa RJ Lino ke pengadilan, lantas kenapa statusnya menjadi tersangka?" katanya.
Mengenai penetapan pegawai KPK sebagai aparatur sipil negara (ASN), Bara JP menyebut hal ini untuk memberi kepastian status bagi mereka yang bekerja di KPK, termasuk hak dan kewajiban, dan perlindungan pada masa depan mereka.
Menurut Bara JP, kekhawatiran sebagian kalangan bahwa status ASN bagi pegawai KPK akan mengurangi independensi mereka karena akan terikat pada aturan ASN, merupakan kekhawatiran yang berlebihan. (Ssr/A-5)
Komnas HAM meminta aparat keamanan untuk tidak menggunakan tindakan kekerasan dalam menjaga keamanan, serta mengedepankan pendekatan yang lebih humanis dan terukur
KAUKUS Muda Betawi merampungkan draf usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Polisi menangkap 301 orang terkait aksi unjuk rasa revisi Undang-Undang Pilkada yang berakhir ricuh kemarin. Saat ini 112 orang di antaranya sudah dipulangkan.
Swedia memiliki UU mengenai kebebasan berekspresi dan protes, tetapi UU tersebut seharusnya tidak melewati batas hingga mengarah pada ujaran kebencian.
Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menilai pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (PSDN) yang dilakukan DPR RI belum perlu dibahas.
Dalam pasal itu, ketentuan pidananya ialah hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved