Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
SILANG pendapat tentang Rancangan Undang-Undang KUHP masih sengit. Namun, anggota Tim Perumus RKUHP Edward Omar Sharif Hiariej mendorong RUU KUHP segera disahkan menjadi undang-undang pada akhir September ini.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum UGM ini, jika setelah disahkan masih ada yang tidak setuju, disarankan untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. "Kita ketemu di sana (MK) untuk adu argumen akademik mengenai pasal-pasal yang tidak disetujui," ujarnya saat ditemui di Yogyakarta, kemarin.
Tim perumus, kata dia, selama ini terus bekerja keras untuk menyempurnakan pasal-pasal yang ada dalam RUU itu. Ia mengakui banyak yang mengkritik hanya di media. Sayangnya, lanjutnya, kritik yang dilontarkan itu tanpa memperhatikan perkembangan RUU itu. "Bahkan kritikan itu banyak yang out of date (basi)," cetusnya.
RUU yang akan disahkan ini ialah bukan revisi dari KUHP versi kolonial Belanda itu.
"Bukan revisi, tetapi rekodifikasi. Membuat KUHP baru karena sejak pasca-Perang Dunia II, banyak hukum pidana khusus yang berada di luar KUHP," tanya.
Rekodifikasi, lanjutnya, disesuaikan dengan prinsip dasar Pancasila. "Karena itu, RUU KUHP ini memuat 770-an pasal," ujarnya. Rekodifikasi ialah uyapa menarik hukum pidana khusus ke dalam KUHP.
RKUHP, kata dia, memiliki filosofi, yakni melindungi negara, masyarakat, dan individu. "Apa yang dilindungi dari individu? Tubuh, nyawa, jiwa, properti, harkat, dan martabatnya," jelasnya.
Pakar hukum pidana yang akrab disapa Eddy ini menyebutkan secara khusus mengenai perlindungan terhadap presiden/wakil presiden dari penghinaan dan cacian. "Harus diingat, presiden ialah simbol negara meski sudah ada equality before the law," katanya.
Ia menegaskan, sangat ironis ketika kepala negara asing yang berada di Indonesia harkat dan martabatnya mendapat perlindungan hukum, tetapi presiden Indonesia tidak mendapat perlindungan di negeri sendiri. "Bagaimana jadinya, kalau presiden kita di negeri sendiri dicaci, dihina, dan disamakan dengan isi kebun binatang," pungkasnya.
Finalisasi
Komisi III DPR terus melakukan finalisasi RKUHP berdasarkan kritik dari sejumlah elemen masyarakat yang menilai masih adanya pasal-pasal karet dalam RKUHP.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengungkapkan Tim Panitia Kerja (Panja) RKUHP bersama pemerintah saat ini secara insentif terus membahas pasal-pasal krusial.
"Termasuk usulan dan keberatan dari masyarakat terhadap beberapa pasal," ungkap Masinton, kemarin.
Dia mengatakan Komisi III akan membuka opsi pembahasan RKUHP diusulkan untuk dimasukkan menjadi objek carry over. Artinya, pembahasan RKUHP dapat dilanjutkan oleh anggota DPR periode 2019-2024. "Hal itu dilakukan agar RKUHP keluar sebagai produk legislasi yang optimal," ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem Taufiqulhadi menuturkan RKUHP tidak bisa dinilai secara sempurna. Menurutnya, undang-undang sebagai produk legislasi menjadi lebih sempurna seiring dengan berjalannya waktu. "Kalau memang belum sempurna, rakyat Indonesia bisa memperbaikinya melalui proses judicial review ke MK," tandasnya, kemarin.
Yang paling penting sekarang ini, kata dia, ialah bagaimana kita harus bersikap demi terwujudnya keinginan memiliki KUHP sendiri. (Uta/X-4)
Menurutnya, sistem penegakan hukum terpadu seharusnya menjadi kesatuan rangkaian antarpenegak hukum untuk menanggulangi kejahatan.
Hukuman mati tidak lagi menjadi pidana pokok tapi pidana khusus. Ini menjadi politik hukum baru dan menjadi suatu jalan tengah
INDONESIA harus berbangga dengan memiliki produk hukum asli dan menanggalkan produk hukum kolonial.
PASAL perzinaan dalam KUHP yang baru dipastikan tidak akan berdampak negatif terhadap sektor pariwisata dan investasi di Indonesia.
RUU KUHP, merupakan RUU terlama yang dibahas oleh DPR hingga disahkan.
Dia menegaskan yang dilarang itu adalah penghinaan terhadap presiden. Sedangkan kritik terhadap pemerintah maupun kepala negara diperkenankan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved