Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

GBHN Jangan Jadi Komoditas Politik

Melalusa Susthira K
15/8/2019 07:50
GBHN Jangan Jadi Komoditas Politik
Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo.(MI/Susanto)

LEMBAGA Ketahanan Nasional (Lemhanas) mengingatkan agar wacana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) melalui amendemen UUD 1945 tidak dijadikan komoditas politik. "Wacana itu jangan sampai terus dibawa ke dalam ranah politik," kata Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo di sela seminar bertajuk Upaya Peningkatan Modal Manusia Menghadapi Revolusi Industri 4.0 guna Mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, di Jakarta, kemarin.    

Apalagi, kata Agus, saat ini Indonesia sudah punya sistem perencanaan pembangunan nasional melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Itulah tata cara perencanaan pembangunan jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan penyelenggara negara dan masyarakat di pusat dan daerah.

Sistem itu, jelasnya, merupakan pengganti GBHN dan sudah berlaku sejak 2005. "Jadi, jangan hitam putih dan dijadikan isu-isu itu menjadi komoditas politik. Apakah RPJMN tidak bisa memadai seperti GBHN atau tidak ada jaminan bahwa presiden terpilih dapat menentukan program yang berkesinambungan," ucapnya.    

Ia juga mengingatkan sebelum menghidupkan kembali GBHN, semua pihak harus memahami tujuan GBHN. Termasuk, apakah dengan tidak adanya GBHN, tujuan nasional menjadi tidak terwujud.  

"Kita bertanya, sebetulnya untuk apa sih GBHN? Tujuannya apa? Apakah dengan tidak adanya GBHN sekarang tidak tercapai? Kalau tidak tercapai, masalahnya di mana?" jelas mantan Dansesko TNI itu.

Lebih jauh, Agus menjelaskan jika tujuan nasional belum terwujud, tentunya tidak semata-mata karena tidak adanya GBHN. Namun, harus diperhatikan bagaimana bangsa Indonesia mempraktikkan sistem perencanaan pembangunan nasionalnya sendiri.

"Mungkin persoalannya bukan semata-mata kembali kepada GBHN. Mungkin praktiknya perlu lebih dicermati agar dijamin bahwa antara satu presiden ke presiden lainnya memberikan kesinam-bungan bagi program pembangunan nasional jangka panjang. Jadi jangan belok-belok," tuturnya.

Dalam Kongres V di Bali belum lama ini, PDIP merekomendasikan agar MPR kembali diberikan kewenangan menetapkan GBHN. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan dengan adanya GBHN, semuanya dibimbing satu arah, yakni bagaimana bangsa Indonesia maju dan dapat menjadi pemimpin di antara bangsa-bangsa maju.

Melihat kebutuhan
Ahli tata negara Bivitri Susanti mengatakan wacana menghidupkan GBHN harus ditinjau dari sudut pandang apakah benar-benar dibutuhkan untuk kesejahteraan rakyat atau tidak. "Amendemen kons-titusi harus untuk kepentingan rakyat dan melibatkan publik, itu poin pentingnya."

Menurutnya, harus dipertanyakan apakah amendemen untuk kembali menghadirkan GBHN benar-benar untuk kepentingan rakyat atau kepentingan segelintir elite politik. Selain itu, perubahan tersebut juga harus dilakukan dengan dasar apakah akan memiliki efek konkret yang bisa dilihat. Apalagi, sistem tata negara yang berlaku saat ini tidak terdapat fungsi mandat dari MPR kepada presiden.   

Sistem itu berlaku ketika pemilihan dan penetapan presiden dilakukan MPR, bukan secara langsung seperti saat ini. "Pertanyaan kritisnya kalau cuma ada dokumen GBHN, gunanya apa? Karena kalau cuma sekadar ada, cost politiknya terlalu besar," tegasnya. (Mir/P-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya