Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Isu Referendum sebagai Introspeksi

Putri Rosmalia Octaviyani
04/6/2019 08:25
Isu Referendum sebagai Introspeksi
Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf (Mualem)(MI/AMIRUDDIN ABDULLAH REUBEE)

PERNYATAAN Ketua DPA Partai Aceh (PA) Muzakir Manaf (Mualem) yang meminta agar Aceh menggelar referendum harus dijadikan refleksi bagi pemerintah pusat dalam proses pembangunan di provinsi tersebut.

Anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengatakan, permintaan Mualem tersebut harus dijadikan masukan agar pemerintah bisa bekerja lebih baik dalam memajukan Aceh. "Dengan begitu, keinginan untuk referendum tidak akan kembali muncul," kata Arteria ketika dihubungi, kemarin.

Hal tersebut dikatakan Arteria dalam menanggapi pernyataan Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) itu saat memberikan sambutan pada peringatan sembilan tahun wafatnya Wali Neugara Aceh, Paduka Yang Mulia Tgk Muhammad Hasan Ditiro, dan buka bersama di salah satu Gedung Amel Banda Aceh, Senin (27/5).

Mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu berpendapat kondisi Indonesia kini di ambang kehancuran di segala aspek sehingga dia meminta referendum untuk Aceh. Tidak tanggung-tanggung, wacana referendum itu dilontarkan Muzakir di hadapan Plt Gubernur Aceh, Pangdam Iskandar Muda, Kapolda Aceh, dan beberapa pejabat lain.

Arteria mengatakan, selama ini pemerintah RI sudah menjalankan ketentuan sesuai dengan Perjanjian Helsinki yang kemudian diimplementasikan melalui UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Salah satu klausul yang ada di dalamnya menyebut pemerintahan Aceh dilaksanakan partai lokal Aceh sebagai the ruling party atau partai yang mendominasi.

Arteria menjelaskan, sejak Perjanjian Helsinki hingga saat ini pemerintahan Aceh hampir seluruhnya diurus orang Aceh. Partai Aceh duduk sebagai partai yang paling mendominasi selama dua periode khususnya di parlemen Aceh.

"Hal itu bahkan terus berlanjut sejak MoU Helsinki sampai dengan saat ini. Jadi, tidak ada alasan untuk referendum. NKRI itu harga mati, sudah final dan wajib hukumnya persatuan dan kesatuan harus dipertahankan," ujarnya sambil menambahkan bahwa tidak ada landasan hukum yang memungkinkan pelaksanaan referendum.

Emosi sesaat

Sebelumnya sejumlah pihak mendesak agar wacana pelaksanaan referendum di Aceh diakhiri. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, sebaiknya isu referendum itu tidak perlu dibesar-besarkan karena hanya merupakan emosi sesaat.

"Wacana itu muncul karena luapan emosi pihak yang tidak bisa menerima hasil Pemilu 2019. Padahal, proses pemilu belum sepenuhnya usai. Ada sengketa hasil pemilu yang masih berproses di MK. Kita harus hormati pihak-pihak yang mencari keadilan di MK," katanya.

Menurut Jimly, isu referendum ini kerap dilontarkan karena emosi sesaat dari pihak-pihak yang tidak puas atas kinerja pemerintah. "Seperti di Papua, sedikit-sedikit teriak merdeka. Oleh karena itu, lebih baik pembahasan referendum dihentikan saja." katanya.

Pendapat senada dikatakan Wakil Ketua Umum MUI Pusat KH Zainut Tauhid yang menegaskan Pancasila dan NKRI merupakan bentuk final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

"MUI mengajak komponen bangsa meneguhkan kembali komitmen kebangsaan dan mengukuhkan konsensus nasional para pendiri bangsa.

Keinginan beberapa daerah memisahkan diri dari NKRI merupakan pengingkaran sejarah yang mengancam persatuan Indonesia. Tuntutan referendum harus ditolak," ujarnya. (P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya