Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Kematian KPPS tidak Bisa Delegitimasi Pemilu

Ardi teristi Hardi
10/5/2019 08:20
 Kematian KPPS tidak Bisa Delegitimasi Pemilu
Warga mengangkat jenazah Sudirdjo, seorang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Pemilu serentak 2019 yang meninggal dunia(ANTARA FOTO/Risky Andrianto)

BANYAKNYA petugas pemilu yang meninggal dunia dalam kurun waktu sejak pemungutan suara hingga proses penghitungan suara merupakan kejadian luar biasa. Meski begitu, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk mendelegitimasi pemilu.

Dekan Fisipol Universitas Gadjah Mada Dr Erwan Agus Purwanto mengemukakan itu dalam konferensi pers rencana riset tentang kejadian sakit dan meninggalnya petugas Pemilu 2019, di Fisipol UGM, Yogyakarta, kemarin. "Jangan sampai digoreng untuk mendeligitimasi hasil Pemilu," ujarnya.  

Paling tidak ada dua alasan kuat meninggalnya petugas pemilu tidak dapat digunakan untuk mendelegitimasi pemilu. Pertama, meninggalnya petugas pemilu tidak dirancang. Dengan kata lain, mereka meninggal dunia tidak karena disengaja.

Kedua, petugas yang meninggal tidak terjadi masif. Misalnya, di satu TPS tidak semua petugas meninggal. Dari total hampir 6 juta petugas Pemilu 2019, yang meninggal sekitar 450 orang dan petugas yang sakit mencapai ribuan orang.
Erwan mengakui, kejadian kali ini luar biasa. Pasalnya, bila dibandingkan dengan Pemilu 2014, petugas pemilu yang meninggal jauh lebih banyak.

"Kami ikut priharin dan berbelasungkawa. Kami meyakini, ini merupakan bentuk pengabdian," kata dia.
Dosen Fisipol UGM Dr Abdul Gaffar Karim dari diskusi kelompok terfokus yang dilakukan para pakar dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Keperawatan UGM, dan Fakultas Psikologi UGM, dan Fisipol UGM, hipotesis sementara ada beberapa celah pemicu.

Pemicu itu mulai dari proses rekrutmen terkait kesehatan dan usia, kemudian beban kerja, ergonomisitas, ritme kerja, hingga tekanan politik atau tudingan berlebihan. Hal tersebut berkontribusi pada tingkat kelelahan petugas.

Untuk meneliti kejadian sakit dan meninggalnya petugas Pemilu 2019, UGM akan membuat riset lintas keilmuan. Hasilnya untuk memperkuat rekomendasi perbaikan sistem pemilu di lingkup nasional.

Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latief mengatakan pemilu serentak sebaik-nya diperbaiki karena beban pekerjaan pelaksana pemilu begitu berat.

Sistem pemilu bisa dibuat tidak se-rentak dengan memisahkan pemilu di tingkat pusat yang meliputi presiden-wakil presiden, DPR, dan DPD, dan tingkat daerah. untuk memilih DPRD serta wali kota/bupati.

Lakukan audit
Kementerian Kesehatan membentuk tim untuk mengantisipasi terjadinya masalah kesehatan pascapemilu, terutama saat penghitungan suara. Tim kesehatan tersebut disiagakan di posko-posko tingkat provinsi dan pusat.

Menteri Kesehatan Nila Moeloek mengatakan tenaga kesehatan akan siaga dalam 3 sif dengan jumlah minimal 3-4 personel mulai 7 Mei hingga 25 Mei 2019 mendatang. Tim terdiri dari dokter umum, spesialis penyakit dalam, spesialis jantung dan pembuluh darah, perawat, serta untuk tingkat pusat dilengkapi spesialis anestesi.

"Jumlah posko tergantung kebutuhan di lapangan," ujar Menkes.

Data KPU pada 17 April hingga 7 Mei 2019 menyebutkan total petugas yang menderita sakit sebanyak 4.310 orang, dan 456 petugas yang meninggal dari total jumlah petugas 7.286.067 orang.

Di DKI Jakarta, dari sebanyak 18 jiwa yang terenggut, penyebab kematian beragam, mulai dari infark miocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, gagal fungsi pernapasan, dan meningitis. (AU/Ind/MS/A-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya