Headline
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
POLITISASI agama yang dinilai mengemuka sejak Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, lantas bergulir di panggung Pemilu 2019. Menurut Dosen Program Studi Agama dan Lintas Budaya UGM Achmad Munjid agama dan politik menjadi isu besar yang sengaja dieksploitasi dalam pemilu demi mendulang suara.
Padahal menurutnya, agama dan politik ibarat minyak dan api, sehingga menggabungkannya justru akan menghasilkan kobaran api, dan bukan pencerahan.
"Politik identitas jadi problem yang sangat besar di pemilu, agama dieksploitasi untuk mobilisasi politik," terang Achmad dalam diskusi Politics and Religion in Indonesia yang diselenggarakan AMINEF di auditorium CSIS, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (2/4).
Baca juga: Masyarakat Harus Waspada Bahaya Politisasi Agama
Tidak hanya isu agama yang dipolitisasi, identitas eksklusif lainnya seperti suku dan ras juga ikut dimainkan. Menurut Achmad, identitas agama tumbuh pasca reformasi. Hal tersebut ia nilai merupakan buah atas terepresinya ruang berekspresi di publik yang dibungkam selama era Orde Baru.
"Dalam kaitan dengan itu sebetulnya itu masih euphoria pasca reformasi, dulu sebelum reformasi kan negara begitu kuat rakyat nggak bisa apa-apa. Jadi ada sedikit apa-apa negara langsung sikat," terang Ahmad.
Perihal arah bangsa Indonesia yang dikhawatirkan semakin bergerak ke arah 'kanan' serta mengarah pada radikalisme. Peneliti dari Departement of Sociology, Anthropology, and Social Work University of North Florida, Amerika Serikat, Prof Ronald Lukens-Bull PhD mengatakan bahwa masyarakat Indonesia justru lebih berkembang ke arah formalisme dalam beragama.
"Masyarakat di publik terlihat sangat formalisme. Formalisme merupakan pengkhianatan atas prioritas pribadi. Saya berharap masyarakat lebih berfokus pada prioritas pribadi," ujar Lukens.
Lukens, maupun Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini yang juga ikut mengisi acara, sama-sama mengkritisi berlakunya presidential threshold yang dinilai membuat masyarakat terdampak pada politisasi agama dan akhirnya menjadi terpolarisasi.
Menurut Titi, apabila presidential threshold dihapuskan dan diganti dengan formula yang lebih ramah dan fleksibel maka dapat memunculkan opsi yang lebih beragam pada masyarakat, dengan harapan membawa banyak gagasan baru sehingga dapat mengalihkan isu-isu usang sebelumnya.
"Mengusulkan penghapusan ambang batas pencalonan presiden, sehingga nanti tidak kemudian terjadi polarisasi yang begitu membelah, tetapi bagaimana saluran-saluran politik itu bisa difasilitasi oleh keragaman pilihan," pungkas Titi.
Acara diskusi yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), American Indonesian Exchange Foundation (Aminef), Fullbright, dan United States – Indonesia Society (Usindo) tersebut dibuka oleh Direktur Eksekutif AMINEF, Alan H Feinstein. Sedangkan jalannya diskusi dimoderatori oleh Direktur CSIS Philip J. Vermonte. Selain itu hadir pula narasumber lainnya yakni peneliti Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Nava Nuraniyah dan Peneliti CSIS, Noory Okthariza. (OL-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved