Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
AHLI hukum acara pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menyebutkan UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kewenangan kepada OJK untuk dapat melimpahkan perkara ke kejaksaan.
"Seiring perkembangan yang dinamis, UU Bea Cukai, UU Pajak, UU Imigrasi, bahkan UU OJK, mengatur PPNS dapat melimpahkan perkara ke kejaksaan," jelasnya di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (12/3).
Huda mengatakan hal tersebut ketika memberikan keterangan sebagai ahli yang dihadirkan pihak pemerintah dalam sidang uji materi UU OJK di MK.
Dia menjelaskan kondisi tersebut menjadikan tidak hanya kepolisian yang memiliki wewenang untuk melimpahkan kasus ke kejaksaan. "Jadi pemohon mesti melihat tidak dari KUHAP saja, tapi perkembangan aturan pasca-KUHAP lahir, dapat dilihat juga sebagai sistem hukum pidana."
Lebih lanjut, ia mengatakan UU OJK ialah kebijakan hukum terbuka yang dilakukan pemerintah.
Sebelumnya, para pemohon mempermasalahkan wewenang penyidik dalam Pasal 49 ayat (3) UU OJK yang dinilai tidak terkait dengan KUHAP.
Ketentuan tersebut menyatakan PPNS OJK berwenang meminta bantuan aparat penegak hukum dan juga dapat melakukan penyidik-an tanpa berkoordinasi dengan penegak hukum lainnya, yakni kepolisian.
Pemohon berpendapat kewenangan penyidik OJK itu dapat menimbulkan kesewenangan dari penyidik OJK.
Huda juga menjelaskan bahwa UU OJK merupakan undang-undang administratif yang memuat aturan pidana. "Ini dikenal sebagai hukum pidana administratif."
Ia menyatakan KUHAP merupakan desain besar sistem hukum pidana sehingga kewenangan penyidikan oleh PPNS dan kepolisian di OJK tidak bertentangan dengan sistem tersebut.
"Hukum administrasi sebagai awalan, hukum perdata sebagai perte-ngahan, hukum pidana sebagai pilihan terakhir dalam penegakan hukum. UU OJK dapat dilihat sebagai sistem penegakan hukum terintegrasi."
Sementra itu, ahli hukum tata negara Denny Indrayana menyebutkan OJK memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pengawas dan penyidik. "OJK di berbagai negara memiliki kewenangan yang sama dengan OJK di Indonesia, yakni sebagai pengawas dan penyi-dik," jelasnya.
Menurut dia, dalam konteks tata negara, suatu lembaga independen dapat memiliki multifungsi, namun tetap memiliki batasan. (Faj/Ant/P-2)
Pernyataan Puan Maharani soal putusan MK terkait pemisahan pemilu sangat objektif.
REVISI Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dinilai sebagai satu-satunya jalan untuk mengakhiri polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal.
Rifqinizamy menjelaskan ada sejumlah hal yang membuat turbulensi konstitusi. Pertama, Pasal 22 E ayat 1 menyebutkan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun.
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Umbu mengatakan MPR tidak berwenang menafsirkan putusan MK yang nantinya berdampak pada eksistensi dan keberlakuan putusan MK. Ia mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat.
Berbagai anggota DPR dan partai politik secara tegas menolak putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Ironisnya dalam praktik pengesahan UU TNI, proses pembentukannya justru terkesan politis menjadi alat kuasa dari Presiden dan DPR.
Supremasi sipil dalam UU TNI belum sepenuhnya mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya dalam situasi jika terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Empat orang mantan komisioner DKPP memohon supaya DKPP dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan nomenklaturnya diubah.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) dijadwalkan menggelar sidang perdana atas uji materi Undang-Undang Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) siang ini, Jumat (25/4).
Ke-29 musisi dalam permohonan ini meminta agar Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta dinyatakan inkonstitusional dan tidak berkekuatan hukum.
Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU MK tersebut tidak menentukan secara jelas mengenai jumlah komposisi hakim konstitusi perempuan dan laki-laki.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved