Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Munas NU: Non-Muslim bukan Kafir, Mereka Warga Negara

Micom
02/3/2019 20:00
Munas NU: Non-Muslim bukan Kafir, Mereka Warga Negara
(Ist)

MUSYAWARAH Nasional (Munas) Alim Ulama yang digelar Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat, 27 Februari-1 Maret di antaranya mengangkat masalah status nonmuslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Topik itu masuk dalam Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah yang fokus pada penjelasan tematik.

Musyawirin (peserta Munas) menilai, sebagai dasar negara Pancasila berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya. Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara dan yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis, bahkan agama.

Hal itu selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah. Piagam Madinah menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa atau umat, yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya, tanpa diskriminasi.

Hal tersebut terungkap dalam sidang pleno Munas-Konbes NU 2019, Kamis (28/2). Hasil putusan Komisi Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyah dibacakan Abdul Moqsith Ghazali di hadapan forum.

Baca juga: TGB: Jangan Mudah Mengkafirkan Karena Politik

Sebelumnya, dalam sidang komisi Muqsith mengatakan, kafir seringkali disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada non-Muslim, bahkan terhadap sesama Muslim sendiri. Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia.

“Kata kafir menyakiti sebagian kelompok nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis,” kata Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.

Para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, akan tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurutnya, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan Non-Muslim di dalam sebuah negara.

“Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain,” terangnya.

Meskipun demikian, kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Penyebutan kafir terhadap non-Muslim di Indonesia rasanya tidak bijak.

“Tetapi memberikan label kafir kepada warga Indonesia yang ikut merancang desain negara Indonesia rasanya kurang bijaksana,” kata Kiai Moqsith.

Pembahasan ini dilakukan mengingat masih adanya sebagian warga negara lain yang mempersoalkan status kewargaan yang lain.  “(Mereka) memberikan atribusi teologis yang diskriminatif dalam tanda petik kepada sekelompok warga negara lain,” katanya. (RO/OL-7)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Budi Ernanto
Berita Lainnya