Mantan Napi Korupsi Ditandai di Surat Suara

Insi Nantika Jelita
17/9/2018 07:55
Mantan Napi Korupsi Ditandai di Surat Suara
(ANTARA/Ismar Patrizki)

PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan larangan eks napi korupsi maju sebagai calon anggota legislatif hingga saat ini masih menuai polemik. Pegiat demokrasi menyayangkan keputusan itu dan mengusulkan eks napi korupsi ditandai di surat suara.

Pendiri Netgrit (Network for Democracy and Electoral Integrity) Hadar Nafis Gumay mengatakan putusan MA itu telah mengecewakan banyak pihak.

"Ini menjadi keprihatinan saya yang terus berlanjut," ujar Hadar di Jakarta, kemarin.

Sebagian besar masyarakat, menurut Hadar, mendambakan adanya upaya perbaikan kualitas dalam pemilu dengan tidak menghadirkan caleg mantan koruptor dalam Pemilihan Legislatif 2019 nanti.

"Sesuatu yang kami dambakan sebagai upaya untuk mencegah korupsi di negeri ini yang bisa diperbaiki, tapi ternyata tidak. Putusan tersebut sama sekali tidak memperhatikan aspirasi kebutuhan kita untuk memberantas korupsi, khususnya dalam pemilu," ungkap mantan komisioner KPU itu.

Sementara itu, desakan untuk memberi tanda di surat suara terhadap nama calon legislatif yang merupakan mantan napi korupsi makin menguat.

Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo memang menyebut KPU bisa saja membuat aturan dengan memberikan tanda tertentu kepada caleg mantan narapidana korupsi.

"Saya mendukung penuh usulan menandai caleg eks napi koruptor di surat suara," ujar Sekjen Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni di Jakarta, kemarin.

Selain itu, menurut Raja, di TPS (tempat pemilihan suara) diumumkan nama-nama caleg mantan koruptor tersebut agar publik benar-benar tahu rekam jejak calon wakil mereka. "Korupsi ialah kejahatan kemanusiaan yang mesti kita eleminasi dengan segala cara," ujarnya.

 

Eksaminasi publik

Peneliti ICW Donal Fariz menegaskan akan melakukan eksaminasi publik atas putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 itu.

"Kami akan melakukan eksaminasi publik karena ada kejanggalan pada putusan MA. Uji publik atau istilah lainnya (eksaminasi) ialah melihat keputusan secara substansial dari segi formil dan materiil." ujarnya.

Menurutnya, ada perdebatan hukum dalam putusan MA karena MA telah melabrak Pasal 55 UU MK (Mahkamah Konstitusi) yang menyebutkan judicial review PKPU Nomor 20/2018 tidak bisa diproses sepanjang UU Pemilu masih diuji. "Publik tahu tentang ini dan kita akan lihat argumentasi apa dari hakim agung yang memutuskan perkara ini."

Donal mengatakan eksaminasi bukanlah forum untuk membatalkan sebuah putusan perkara. "Eksaminasi bukan forum membatalkan, melainkan forum untuk menilai tepat atau keliru (putusan MA tersebut)," imbuhnya.

Donal menampik alasan yang menyebutkan pertimbangan MA membatalkan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 ialah PKPU itu bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

"Saya tidak setuju dengan pertimbangan MA sekalipun kita belum bisa mengakses keputusan tersebut. Yang diatur oleh PKPU tidak menambahkan klausul atau norma terhadap Pasal 204 UU Nomor 7 Tahun 2017."

Kemudian Donal menjelaskan bahwa yang diatur dalam PKPU Nomor 20 tersebut ialah syarat pencalonan yang objeknya ialah partai politik. Itu hanya mengatur persyaratan calon seperti umur, pendidikan, kemudian kesehatan. (*/X-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya