Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Seni Mendengarkan di Era Digital

Eko Yudi Prasetyo Seniman
17/6/2025 08:00
Seni Mendengarkan di Era Digital
(Dokpri)

DI tengah dunia yang semakin sibuk dan bising, kemampuan untuk mendengarkan menjadi keterampilan yang makin langka dan sering kali diabaikan. Kita hidup di era yang dipenuhi oleh suara, namun minim dengan kehadiran yang utuh. Banyak orang berbicara setiap hari, tetapi hanya sedikit yang benar-benar mendengarkan dengan empati. 

Ironisnya, kemajuan teknologi yang seharusnya mempermudah komunikasi justru memperburuk kualitasnya. Manusia kini semakin sering terhubung secara virtual, namun justru semakin terputus secara emosional dan batiniah.

Fenomena ini terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari. Di meja makan, anggota keluarga berkumpul tetapi masing-masing sibuk dengan gawai. Dalam ruang diskusi publik, seperti media sosial, orang saling berdebat tanpa menunjukkan niat untuk saling memahami. Komunikasi hanya menjadi ajang unjuk argumen, bukan upaya membangun pemahaman. 

Data dari Kominfo (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 80% interaksi di media sosial Indonesia mengandung komentar negatif atau provokatif, bukan dialog yang sehat. Ini mencerminkan bagaimana kita semakin gagal menciptakan ruang komunikasi yang damai dan konstruktif.

Masalah yang sama juga muncul dalam dinamika pemerintahan, terutama ketika menyangkut isu ijazah presiden yang tak kunjung usai dibahas publik. Alih-alih meredam polemik dengan komunikasi yang jernih dan terbuka, respons yang muncul cenderung defensif, bahkan menutup ruang dialog. Tidak sedikit pejabat atau pendukung yang justru memperkeruh suasana dengan pernyataan yang meremehkan pertanyaan publik. Dalam ruang demokrasi yang sehat, pertanyaan warga semestinya dijawab dengan data dan kesabaran, bukan dengan kemarahan atau pelintiran opini.

Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya. Isu ini semakin menggila di media sosial dan menimbulkan polarisasi. Ketimbang memperlihatkan itikad untuk mendengarkan keresahan warga, para elite justru terjebak dalam pertarungan narasi yang melelahkan. Situasi ini memperlihatkan bahwa di tengah krisis kepercayaan, yang dibutuhkan bukanlah pertunjukan klarifikasi, tetapi kerendahan hati untuk menyimak aspirasi rakyat.

Kegaduhan media sosial dan krisis kepekaan

Kegaduhan di media sosial kini telah menjadi gejala sosial yang nyaris rutin terjadi. Setiap hari, kita disuguhkan perdebatan yang kerap kali tidak mengarah pada dialog, melainkan hanya memperuncing polarisasi. Kasus terbaru seperti selebritas yang saling sindir, politisi yang melempar narasi sensasional, atau pemutarbalikan konteks video yang viral, adalah contoh bagaimana media sosial lebih mendorong amarah ketimbang empati. 

Dalam ruang digital yang seharusnya bisa menjadi tempat saling mendengar, justru tercipta atmosfer saling serang. Fitur komentar dan retweet yang cepat telah mengubah banyak orang menjadi hakim instan atas potongan informasi yang belum utuh. Ketika satu isu mencuat, warganet sering kali langsung bereaksi, tanpa mengendapkan informasi secara jernih. Yang terjadi bukan diskusi sehat, melainkan keributan massal. 

Bahkan tidak jarang, akibat dari kegaduhan ini, seseorang kehilangan pekerjaan, nama baik, atau bahkan mengalami tekanan mental. Kekuatan suara publik yang tak terkendali, jika tidak diimbangi dengan budaya menyimak dan menahan diri, hanya akan menciptakan kekacauan kolektif yang melelahkan dan merusak tatanan sosial.

Di sisi lain, banyak tokoh publik atau pemimpin tampil seolah-olah mendengarkan rakyat, padahal hanya sedang membuat konten. Pertemuan dengan warga direkam dan disebarluaskan dengan narasi yang dibentuk secara sepihak. Inilah yang saya sebut sebagai "mendengarkan untuk citra," bukan "mendengarkan untuk memahami." Kepura-puraan ini makin sulit dibedakan dari ketulusan, apalagi jika publik mulai kehilangan daya kritis dalam membedakan antara empati dan strategi.

Menyimak sebagai tindakan sosial dan spiritual

Mendengarkan bukan hanya keterampilan teknis, melainkan juga tindakan sosial yang sangat penting. Dalam relasi antarmanusia, mendengarkan menghadirkan rasa dihargai dan diakui. Ketika seseorang merasa didengar, ia merasa dilibatkan. Sebaliknya, ketika seseorang terus-menerus diabaikan, ia merasa tak dianggap. Saya percaya, banyak persoalan sosial, konflik keluarga, bahkan krisis kepercayaan politik, bersumber dari kegagalan untuk mendengarkan.

Filsuf eksistensialis Martin Buber menyatakan bahwa relasi sejati hanya terbangun ketika seseorang hadir sebagai “Aku” yang menyapa “Engkau.” Relasi seperti ini menuntut keterbukaan, penghormatan, dan kehadiran yang utuh. Saya sangat setuju dengan pandangan ini, karena saya percaya bahwa komunikasi yang paling bermakna lahir dari pertemuan yang setara dan tulus, bukan dari argumen yang dipaksakan, apalagi sekadar formalitas.

Dalam khazanah Islam, Imam Al-Ghazali menjadikan mendengarkan sebagai bagian penting dari pensucian jiwa. Dalam Ihya’ Ulum al-Din, ia menyampaikan bahwa orang yang baik adalah mereka yang mampu mendengarkan dengan penuh hormat dan tidak memotong pembicaraan. Mendengarkan menjadi sarana untuk merendahkan ego dan membebaskan diri dari kesombongan intelektual.

Saya memaknai ajaran ini bukan hanya dalam konteks spiritual, tetapi juga dalam kehidupan sosial. Mendengarkan menuntut kita untuk menyingkirkan hasrat untuk menang, dan membuka ruang bagi keberagaman pikiran. Dalam praktiknya, mendengarkan yang tulus hanya bisa dilakukan jika seseorang hadir secara penuh, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Kita hidup dalam dunia yang serba cepat, sibuk, dan penuh distraksi. Pikiran kita sering kali terbagi antara percakapan dan notifikasi. Kita hadir secara tubuh, tetapi tidak hadir secara batin.

Namun, saya percaya bahwa kemampuan untuk mendengarkan masih bisa dilatih dan dibudayakan. Kita bisa memulainya dari lingkungan terkecil: mendengarkan anak yang sedang bercerita, pasangan yang butuh perhatian, atau rekan kerja yang sedang frustrasi. Dalam skala yang lebih besar, kita membutuhkan pemimpin yang bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga bersedia menyimak dengan tulus.

Ruang sunyi yang menyembuhkan

Saya percaya bahwa dunia yang lebih baik tidak selalu dimulai dari kebijakan besar atau pidato megah. Dunia yang lebih baik bisa dimulai dari satu tindakan kecil yang sering kita lupakan: mendengarkan. Mendengarkan tanpa menghakimi. Mendengarkan tanpa tergesa-gesa memberi saran. Mendengarkan untuk memahami, bukan untuk membalas.

Di dunia yang terlalu bising oleh suara dan pendapat, mungkin bentuk cinta paling tulus dan manusiawi yang masih bisa kita berikan adalah: menyimak. Sebab dengan menyimak, kita hadir sepenuhnya bagi orang lain, bukan sekadar tubuhnya, tapi juga pikirannya, perasaannya, dan luka-lukanya. Menyimak adalah wujud kehadiran yang paling sunyi, tapi juga paling dalam. Di sanalah empati tumbuh, kepercayaan dibangun, dan kemanusiaan dipulihkan.

Jika setiap orang bersedia menyimak lebih banyak daripada berbicara, mungkin kita akan menemukan kembali keheningan yang menyembuhkan, dan suara-suara yang selama ini diabaikan bisa akhirnya terdengar. Dan siapa tahu, dari situ kita bisa memulai dunia yang benar-benar saling mendengar, bukan hanya saling bersuara.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya