Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Memaknai Valentine sebagai Peringatan, bukan Perayaan

Tian Rahmat Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-Isu Strategis
14/2/2025 15:41
Memaknai Valentine sebagai Peringatan, bukan Perayaan
(Dokpri)

CINTA, dalam esensinya yang paling murni, tak mengenal syarat. Ia tidak bergantung pada hadiah, tidak diukur dengan jumlah bunga yang diberikan, dan tidak terbatas pada satu hari perayaan. Namun, di era modern, cinta sering kali dikemas sebagai komoditas. 

Hari Valentine, yang jatuh setiap 14 Februari, adalah salah satu contoh bagaimana makna cinta bisa tergeser menjadi sekadar ajang konsumsi massal. Alih-alih merayakan Valentine sebagai puncak romantisme, tidakkah kita perlu merenung, apakah hari ini benar-benar melambangkan cinta atau sekadar fatamorgana yang dijajakan dalam wujud cokelat, kartu ucapan, dan boneka beruang?

Romantisasi yang berujung komersialisasi

Sejarah mencatat, Valentine bukanlah sekadar hari kasih sayang yang manis. Legenda yang paling terkenal berasal dari abad ke-3, ketika Kaisar Claudius II melarang pernikahan bagi para prajurit muda karena dianggap mengganggu tugas militer mereka. 

Seorang Imam bernama Valentine menentang kebijakan ini dengan menikahkan pasangan secara diam-diam. Akibatnya, ia dihukum mati pada 14 Februari tahun 269 M. Ironisnya, kisah pengorbanan ini justru berkembang menjadi perayaan konsumtif di era modern. 

Data dari National Retail Federation (2023) menunjukkan bahwa pengeluaran global untuk Valentine mencapai lebih dari U$25,9 miliar dengan pembelian perhiasan, bunga, dan cokelat sebagai produk utama. Di Indonesia, perayaan Valentine juga semakin marak, terutama di kalangan anak muda. Menurut riset Populix (2022), 43% masyarakat urban Indonesia merayakan Valentine dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp300.000 per individu.

Pertanyaannya, apakah cinta harus memiliki harga? Dalam bukunya The Paradox of Choice: Why More is Less (2004), Barry Schwartz menjelaskan bahwa budaya konsumtif sering kali menciptakan ilusi kebahagiaan. Kita diajarkan bahwa semakin banyak barang yang kita beli, semakin besar pula rasa cinta yang bisa kita tunjukkan. 
Namun, faktanya, kepuasan emosional justru semakin berkurang ketika cinta dikaitkan dengan transaksi material.

Cinta yang sejati tidak membutuhkan pembuktian dalam bentuk barang. Ia hadir dalam bentuk kepercayaan, kesetiaan, dan pengorbanan. Jika Valentine hanya menjadi ajang pamer hadiah di media sosial, apakah itu masih bisa disebut cinta?

Valentine dan eksploitasi perasaan

Valentine tidak hanya mempermainkan makna cinta, tetapi juga memanfaatkan kerentanan emosi manusia. Mereka yang berada dalam hubungan romantis dipaksa mengikuti arus 'kewajiban' memberi hadiah, sementara mereka yang tidak memiliki pasangan seringkali merasa tersisih.

Menurut Journal of Social and Personal Relationships (2021), tingkat kecemasan sosial meningkat 20% pada individu lajang menjelang perayaan Valentine. Media sosial memperparah situasi ini dengan membanjiri lini masa dengan gambar pasangan yang seolah-olah hidup dalam romansa sempurna. 

Fenomena ini sering disebut sebagai highlight reel effect. Artinya, hanya sisi terbaik dari kehidupan yang dipamerkan, menciptakan tekanan sosial bagi mereka yang tidak memiliki cerita cinta yang bisa di-posting.

Tak hanya itu, komersialisasi Valentine juga berdampak pada cara anak muda memaknai cinta. Psikolog Dr. Jean Twenge dalam bukunya iGen (2017) menemukan, bahwa generasi muda yang tumbuh di era digital lebih cenderung mengukur nilai hubungan berdasarkan ekspektasi media sosial, bukan pada interaksi nyata. Akibatnya, banyak yang merasa hubungan mereka 'kurang berarti' jika tidak sesuai dengan standar yang diciptakan oleh industri hiburan dan pemasaran.

Apakah ini yang kita inginkan? Cinta yang dipaksa masuk dalam standar kapitalisme?

Mengembalikan makna cinta yang sejati

Valentine seharusnya bukan sekadar perayaan, tetapi peringatan. Bukan ajang membeli hadiah, tetapi refleksi tentang bagaimana kita mencintai dan menghargai orang-orang terdekat.

Cinta sejati tidak selalu harus ditunjukkan dengan cokelat atau bunga, tetapi dengan kepedulian yang tulus. Finlandia, negara yang konsisten masuk dalam peringkat teratas World Happiness Report, memiliki budaya merayakan Valentine dengan cara yang berbeda. 

Di sana, 14 Februari dikenal sebagai Friendship Day (Hari Persahabatan). Masyarakat lebih fokus menunjukkan kepedulian kepada teman dan keluarga, bukan hanya kepada pasangan romantis.

Kita bisa mengambil inspirasi dari pendekatan ini. Daripada sekadar mengikuti arus perayaan yang dipenuhi simbol-simbol materialistis, mengapa tidak menjadikan Valentine sebagai momen untuk berbagi dengan mereka yang benar-benar membutuhkan?

Di Indonesia, kita bisa merayakan cinta dengan cara yang lebih bermakna. 

1.Membantu sesama. Alih-alih menghabiskan uang untuk hadiah mahal, kita bisa menyumbangkan sebagian rezeki kepada mereka yang kurang beruntung.

2.Menguatkan ikatan keluarga. Valentine bisa menjadi waktu yang tepat untuk menghabiskan momen berkualitas bersama orang tua, saudara, atau teman yang mungkin sering kita abaikan dalam kesibukan sehari-hari.

3. Mengenali cinta dalam bentuk yang lebih Luas. Cinta bukan hanya tentang pasangan. Ia juga tentang persahabatan, kasih sayang orang tua, dan bahkan kepedulian terhadap diri sendiri.

Selain itu, pemerintah dan lembaga pendidikan bisa ikut serta dalam upaya mengedukasi generasi muda tentang makna cinta yang lebih sehat. Alih-alih hanya menyoroti aspek romantis Valentine, sekolah bisa mengajarkan nilai-nilai empati, kepedulian, dan tanggung jawab dalam hubungan sosial.

Cinta sejati tidak memerlukan tanggal

Jika cinta adalah sesuatu yang tulus, ia tidak membutuhkan tanggal khusus untuk dirayakan. Cinta sejati hadir dalam setiap perhatian kecil, dalam kesabaran menghadapi pasangan, dalam ketulusan memberi tanpa mengharap balasan.

Hari Valentine bisa menjadi ajang introspeksi, bukan sekadar perayaan kosong. Daripada mengikuti arus komersialisasi yang mengaburkan makna cinta, mengapa tidak menjadikannya sebagai momen untuk memahami cinta dalam bentuk yang lebih mendalam?

Cinta yang sejati tidak diukur dari seberapa mahal hadiah yang diberikan, tetapi dari bagaimana kita bisa mencintai tanpa syarat tanpa terikat pada tanggal, tanpa terbebani oleh ekspektasi sosial, dan tanpa harus membuktikan diri dengan materi.

Seperti kata Jalaluddin Rumi dalam salah satu puisinya, "Di luar gagasan benar dan salah, ada ladang. Aku akan menyusuri jalan menuju tempat itu, menemui dirimu di sana." Begitulah seharusnya cinta. Tidak perlu ada syarat, tidak perlu ada batasan, tidak perlu ada tanggal. Sebab, cinta sejati tak pernah membutuhkan hari khusus untuk hidup dalam hati kita.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya