Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PAUS Benediktus XVI pada 9-14 September 2006 mengunjungi kampung halamannya di Bayern, Jerman. Setelah mendarat dan turun dari tangga pesawat, ia membawakan pidato singkat. Di latar belakang, deru suara mesin pesawat masih terdengar. Paus Benediktus XVI merefleksikan pengalaman ini dan berkata, “Kita sedang hidup dan diracuni oleh budaya yang bising sehingga kita tidak mampu lagi mendengar alunan musik lembut Tuhan. Kita telah menjadi tuli terhadap bisikan suara Tuhan.”
Bukankah kenyataan ini menjadi alasan mengapa Yesus lahir di tengah malam? Seperti diberitakan Penginjil Lukas, semuanya diselimuti kegelapan dan keheningan. Ia hanya ditemani para gembala yang sedang menggembalakan domba-domba di padang. Para gembala tidak tenggelam dalam kesibukan pekerjaan dan mencintai kesunyian sehingga dapat mendengarkan suara para malaikat.
Damai di bumi
Malaikat adalah utusan Tuhan. Mereka membawakan pesan Tuhan yang dinyanyikan dalam keheningan malam. Pesan itu disampaikan kepada para gembala: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.”
Pesan perdamaian ini tetap relevan hingga kini.
Banyak penduduk di muka bumi ini sedang merindukan perdamaian. Perdamaian dirindukan di Moskow, Kiev, Gaza, Yerusalem, dan di tempat-tempat lain di muka bumi. Ini adalah pesan perdamaian yang dinyanyikan oleh Tuhan sendiri untuk dunia yang terluka dan diselimuti pelbagai bentuk penderitaan.
Namun, mengapa mimpi perdamaian surgawi itu sulit sekali untuk diwujudkan? Mungkin Paus Benediktus benar bahwa pesan perdamaian Tuhan tidak dapat didengar karena manusia yang mabuk kuasa tidak mampu mendengarkan Allah. Seni mendengarkan tampaknya telah memudar.
Telinga hati para penguasa benar-benar tersumbat oleh kekuasaan yang terobsesi dengan kebesaran dan kepentingan ekonomis. Karena para penguasa kehilangan kemampuan untuk mendengar, mereka juga tidak dapat mendengar jeritan orang-orang yang menderita. Mereka yang melupakan Tuhan menjadi tidak peka terhadap penderitaan, kata teolog Jerman Johann Baptist Metz.
Dunia terluka
Dalam peristiwa Natal, Allah sendiri masuk ke dalam dunia dan mengambil bagian dalam penderitaan umat manusia. Natal adalah jalan Tuhan untuk melaksanakan missio ad vulnera--misi bagi mereka yang terluka. Allah menampilkan diri dalam rupa seorang manusia yang seluruh sosok tubuhnya rusak. Allah yang telah kehilangan seluruh keindahannya. Allah yang tampak seperti seorang penderita kusta yang dijauhi oleh semua orang.
Urgensi keterlibatan dalam karya misi bagi mereka yang terluka telah mendorong Paus Fransiskus untuk menggambarkan gereja sebagai sebuah ‘rumah sakit darurat’ (field hospital) yang bertugas menyembuhkan luka-luka.
Paus Fransiskus menulis, ‘Saya melihat secara jelas bahwa apa yang gereja butuhkan dewasa ini ialah kemampuan untuk menyembuhkan luka-luka dan menghangatkan hati umat beriman; umat beriman membutuhkan kehangatan dan keakraban. Saya melihat gereja sebagai sebuah rumah sakit darurat di medan perang. Tak ada gunanya bertanya kepada seorang pasien yang luka parah apakah angka kolestrol dan kadar gula darahnya tinggi. Anda harus menyembuhkan luka-lukanya. Baru setelah itu kita boleh bicara tentang hal-hal lain’ (2013).
Gereja sebagai ‘rumah sakit darurat’ mendorong kita untuk selalu terlibat dalam usaha dan kerja untuk menyembuhkan luka-luka, mengambil bagian dalam missio ad vulnera. Karya misi bagi mereka yang terluka berarti mengambil bagian dalam karya misi Yesus sendiri untuk menyembuhkan luka-luka dunia. Untuk itu, cara hidup Yesus sudah seharusnya menjadi cara hidup para pengikut-Nya. Hal itu dapat terwujud dengan cara belajar dari Yesus, meniru cara hidup Yesus serta mengintegrasikan nilai dan keyakinan fundamental Yesus.
Betlehem baru
Dewasa ini pesan damai Natal tidak hanya datang dari para malaikat di malam yang sunyi, tapi juga melalui jeritan para korban perang, korban bencana alam, korban human trafficking, dan korban penggusuran di Rempang dan sejumlah tempat lain demi proyek strategis nasional. Bukankah orang-orang menderita ini adalah malaikat Tuhan? Lebih dari itu, Tuhan sendiri sedang bersembunyi di balik penderitaan para korban tersebut. Jeritan-jeritan korban adalah Betlehen-Betlehem kecil kontemporer di mana Allah lahir ke tengah dunia.
Kita sedang hidup dalam throwaway world yang cenderung meminggirkan mereka yang miskin, lemah, cacat, sakit, tua, dan dipandang tak berguna lagi secara ekonomis. Dalam dunia seperti ini, yang dibuang bukan hanya makanan atau sampah, melainkan juga manusia. Hal itu terkonfirmasi dalam diri jutaan migran, pengungsi, dan para korban perdagangan orang.
Peperangan, rasisme, serangan terorisme, dan funamentalisme agama juga merupakan patologi sosial yang telah melukai kemanusiaan kita.
Salomo muda dan belum berpengalaman diangkat menjadi raja menggantikan Daud, ayahnya. Ia seorang yang takut akan Tuhan. Karena itu, dia pergi ke Gideon untuk menyembah Tuhan. Di situ dia mendengar suara-Nya. Dia bisa meminta sesuatu dari Tuhan untuk masa jabatannya. Salomo tidak meminta kekayaan, melainkan hati yang mendengar. Itu yang dia butuhkan untuk dapat memerintah bangsanya dan memahami perbedaan antara yang baik dan yang jahat (1 Raja-Raja 3:9).
Semoga para pemimpin dunia dan pemimpin di negara kita dianugerahi hati yang mendengarkan. Semoga mereka mendengar suara Tuhan dalam penderitaan yang menyayat hati. Orang-orang yang menderita akan menjadi malaikat bagi para gembala, bagi umat manusia dewasa ini. Semoga para pemimpin dunia berhenti mengandalkan senjata dan kekerasan, serta berani menempuh jalan damai Natal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved